Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/11/2021, 11:00 WIB
Xena Olivia,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tekanan darah tinggi atau hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder.

Hipertensi esensial (primer) tidak memiliki penyebab yang jelas. Dapat disebabkan oleh riwayat keluarga atau gaya hidup.

Kebanyakan orang dengan tekanan darah tinggi memiliki hipertensi esensial.

Di sisi lain, hipertensi sekunder lebih langka dengan perhitungan terjadi pada sekitar 10 persen orang dengan tekanan darah tinggi.

Baca juga: Perbedaan Hipertensi Primer dan Hipertensi Sekunder

Gejala

Layaknya hipertensi primer, hipertensi sekunder biasanya tidak memiliki tanda atau gejala khusus, bahkan saat tekanan darah mencapai tingkat yang sangat tinggi.

Jika seseorang didiagnosis dengan tekanan darah tinggi, memiliki salah satu dari tanda ini dapat berarti hipertensi yang diderita tergolong tipe sekunder:

  • tidak merespon terhadap obat tekanan darah (hipertensi resisten)
  • tekanan darah sangat tinggi: sistolik lebih dari 180 milimeter air raksa (mmHg) atau diastolik lebih dari 120 mmHG
  • tekanan darah tinggi tiba-tiba muncul sebelum usia 30 atau setelah usia 55 tahun
  • tidak ada riwayat keluarga tekanan darah tinggi
  • tidak mengalami obesitas.

Penyebab

Hipertensi sekunder dapat diakibatkan oleh kondisi lain yang mendasari, seperti:

  • obat-obatan kortikosteroid (antiinflamasi seperti prednison), obat antiinflmaasi nonsteroid, obat penurun berat badan, obat flu dekongestan, pil KB, obat migrain
  • sleep apnea, kondisi ketika seseorang memiliki periode singkat berhenti bernapas saat tidur; penderita sleep apnea sekitar setengahnya memiliki kondisi tekanan darah tinggi
  • koarktasio aorta, cacat lahir saat aorta menyempit
  • preeklamsia, kondisi yang berhubungan dengan kehamilan
  • masalah tiroid dan paratiroid
  • komplikasi diabetes yang dapat memengaruhi sistem penyaringan ginjal dan menyebabkan tekanan darah tinggi
  • penyakit ginjal polikistik, kondisi ketika terdapat kista di ginjal dan memengaruhi fungsinya dalam bekerja
  • penyakit glomerulus, filter glomerulus pada ginjal yang bengkak dapat menyebabkan darah tinggi
  • hipertensi renovaskular, disebabkan oleh penyempitan (stenosis) salah satu atau kedua arteri yang menuju ke ginjal
  • hipertensi renovaskular umumnya disebabkan oleh jenis plak lemak sama yang dapat merusak arteri koroner (aterosklerosis) atau kondisi terpisah saat otot dan jaringan fibrosa dari dinding arteri ginjal menebal, mengeras menjadi cincin (displasia fibromuskular).

Baca juga: 10 Komplikasi Hipertensi yang Perlu Diwaspadai

Diagnosis

Diagnosis hipertensi sekunder dapat dilakukan dengan tes berikut:

  • tes darah: dilakukan untuk memeriksa kadar elektrolit pada tubuh
  • tes urine (urinalisa): dokter dapat memeriksa urin sebagai penanda yang dapat menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi yang dialami disebabkan oleh kondisi medis lain
  • ultrasonogafi ginjal: kondisi ginjal banyak dikaitkan dengan hipertensi sekunder. Prosedur ini melibatkan perangkat genggam kecil bernama transduser yang kemudian dapat menunjukkan visualisasi ginjal
  • elektrokardiogram (EKG atau ECG): alat ini merekam sinyal listrik jantung. Dilakukan jika dokter menduga masalah jantung menjadi kondisi yang mendasari hipertensi sekunder.

Perawatan

Perawatan untuk hipertensi sekunder dapat melibatkan perawatan kondisi medis yang mendasarinya dengan tambahan obat-obatan atau operasi.

Jika kondisi telah terobati, tekanan darah dapat menurun atau kembali normal.

Penderita juga mungkin disarankan untuk mengkonsumsi obat tekanan darah juga.

Beberapa penanganan yang dapat dilakukan di rumah, di antaranya:

  • makan makanan sehat
  • kurangi konsumsi garam
  • jaga berat tubuh ideal
  • tingkatkan aktivitas fisik
  • batasi konsumsi alkohol
  • hindari merokok
  • menangani stres.

Baca juga: 7 Buah untuk Hipertensi yang Baik Dikonsumsi Pengidap Darah Tinggi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.

Video rekomendasi
Video lainnya

Indeks Penyakit


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com