Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampanye Antirokok Setengah Hati

Kompas.com - 15/04/2008, 18:53 WIB

Surabaya, Kompas - Kerugian akibat biaya pengobatan penderita kanker paru sesungguhnya sangat besar bila dibandingkan dengan cukai rokok yang diterima pemerintah. Kendati demikian, pemerintah tetap enggan melarang industri rokok. Bahkan, imbauan untuk mengadakan kawasan tanpa rokok sejak tahun 2005 tidak tampak tindak lanjutnya sama sekali.

Kepala Staf Medis Fungsional (SMF) Paru Rumah Sakit Umum (RSU) Dr Soetomo, dr Slamet Hariadi, mengungkapkan hal itu dalam sosialisasi pencegahan merokok terhadap lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, kalangan pondok pesantren, dan wartawan, Senin (14/4) di Surabaya.

"Penerimaan cukai rokok tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan semua warga yang sakit kanker paru. Biaya pengobatan dengan sekali operasi saja paling murah Rp 10 juta. Bila ditambah kemoterapi, biayanya bisa menjadi lima kali lipat atau lebih," tutur Slamet.

Menurut Kepala Seksi Promosi Kesehatan Dinas Kesehatan Jatim Soenarsongko, dalam studi Departemen Kesehatan, perbandingan antara cukai rokok dan biaya pengobatan masyarakat akibat kanker paru malah lebih besar. Dari sekitar Rp 17 triliun pendapatan cukai rokok per tahun, biaya pengobatan warga mencapai Rp 127 triliun.

Masalahnya, kata Slamet, pemerintah tidak berani melarang industri rokok. "Industri rokok masih terlihat menguntungkan untuk pemerintah meskipun biaya yang diperlukan untuk warga sakit akibat sekitar 4.000 racun yang terkandung dalam rokok jauh lebih besar," tuturnya. Kawasan tanpa rokok

Imbauan untuk mengadakan kawasan tanpa rokok di berbagai tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, tempat ibadah, tempat hiburan, dan tempat layanan umum tidak diindahkan. Imbauan itu dikeluarkan Gubernur Jatim Imam Utomo kepada bupati/wali kota dan kepala dinas, badan, kantor, serta berbagai instansi pemerintah se-Jatim pada 18 Juli 2005.

Slamet mengatakan, di RSU Dr Soetomo sesungguhnya sudah diadakan kawasan tanpa rokok. Namun, penerapannya jauh dari harapan. Keluarga pasien yang menunggu di rumah sakit masih saja merokok di sembarang tempat.

"Semua aturan tidak jalan karena tidak ada yang mengontrol. Jadi, pemerintah semestinya lebih tegas, membentuk aparat pengontrol dan memberi sanksi tegas. Pemerintah juga bisa menaikkan cukai rokok supaya harganya tinggi dan perokok mengurangi konsumsinya," kata Slamet.

Bahaya rokok tidak bisa dipungkiri. Dari 4.000 jenis bahan kimia dalam rokok, 40 jenis di antaranya menyebabkan kanker atau karsinogenik. Dalam asap rokok antara lain terkandung karbonmonoksida, karbondioksida, hidrogen sianida, amonia, oksida dari nitrogen, dan senyawa hidrokarbon. Selain itu juga terdapat tar, nikotin, benzopyrene, fenol, dan kadmium.

Pada tataran ringan, kata Slamet, perokok berisiko terkena bronkitis ringan hingga bronkitis kronis. Semakin parah, perokok berisiko besar terkena penyakit paru obstruksi kronis atau buntunya saluran di paru secara menahun. Selain itu, perokok juga rentan mengidap kanker paru.

Saat ini, Slamet menambahkan, pasien kanker paru semakin muda. Beberapa tahun lalu pasien kanker paru umumnya berusia lebih dari 40 tahun, namun saat ini mulai banyak pasien berusia 30-an tahun. (INA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com