Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lebih Alami dengan Phytoestrogen

Kompas.com - 11/07/2008, 15:42 WIB

SECARA teoritis, kadar estrogen di dalam tubuh menurun seiring bertambahnya usia. Padahal, estrogen sangat diperlukan untuk metabolisme kalsium sehingga tidak mudah mengalami keropos tulang (osteoporosis) selain juga memelihara fungsi otak.

Ketika seorang wanita memasuki masa menopause, produksi hormon estrogen di dalam tubuh mulai berkurang. Hal ini akan menimbulkan gejala-gejala tidak nyaman seperti semburan panas pada wajah dan dada, perubahan suasana hati (mood), vagina menjadi kering (menyebabkan sakit saat berhubungan), keringat berlebihan pada malam hari, gangguan tidur dan mudah lupa.Selain itu juga dapat menyebabkan peningkatan risiko osteoporosis dan penyakit jantung.

Untuk mengatasi menurunnya hormon estrogen, para wanita kini dapat menjalani terapi sulih hormon (TSH)  menggunakan obat-obatan kimia. Menurut ahli bidang geriatrik atau kesehatan lanjut usia Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, Prof Tri Budi Rahardjo, di Depok, Kamis (10/7),  prosedur terapi hormon ini memang memiliki efek samping, sehingga banyak orang kemudian mencoba alternatif lain yakni memperoleh estrogen dari zat yang lebih alami.

Zat tersebut adalah phytoestrogen, yakni senyawa mirip estrogen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan terutama dari produk polong-polongan (kedelai), gandum, kacang-kacangan, buah-buahan dan sayur-sayuran.

Phytoestrogen dapat ditangkap oleh penerima (reseptor) estrogen dalam tubuh, dan akhirnya akan memberikan efek hormon dan anti hormon. Namun demikian, perlu dipahami bahwa efek hormon mirip estrogen yang ditimbulkan ini jauh lebih lemah bila dibandingkan dengan estrogen sendiri. Ada 3 jenis phytoestrogen, yaitu isoflavones (paling kuat), coumestans dan lignans.

Dalam sebuah penelitian tentang konsumsi tahu tempe, Prof Tri Budi Rahardjo juga menemukan hubungan phytoestrogen dengan daya ingat atau fungsi memori. Studi yang bekerja sama dengan Professor Eef Hogervorst dari Loughborough University, itu menyimpulkan adanya asosiasi negatif pada intensitas yang tinggi mengkonsumsi tahu pada lanjut usia dengan kualitas fungsi memori.

Tentu saja ini dapat mengkhawatirkan banyak pihak karena menganggap tahu berbahaya. Namun, Tri Budi membantah kesimpulan itu, dan mengatakan bahwa kuncinya terletak pada pola makan yang proporsional.

"Yang pasti kita tidak bisa mengekspos bahwa tahu itu berbahaya. Konklusinya, bahwa phytoestrogen yang merupakan reseptor bisa memberikan efek baik, tetapi pada usia di atas 65 tahun sebenarnya harus hati-hati. Tahunya kenapa? Itu lagi diteliti," ujar Tri Budi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com