Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Up and Down Saat Keguguran

Kompas.com - 18/11/2009, 10:28 WIB

KOMPAS.com - Peristiwa keguguran dalam dunia medis memang biasa, tetapi bagi seorang calon ibu rasa kehilangannya tak dapat dibandingkan dengan kehilangan yang lain. Tidak juga lebih ringan dibandingkan kehilangan anak yang sudah dilahirkan dan dibesarkan. "Anggapan bahwa bonding antara ibu dan janin belum sekuat ikatan ibu dan anak yang sudah dibesarkan sekian lama jelas tidak benar," ujar Dra M Louise MM, Psi.

Psikolog klinis dari RSAB Harapan Kita ini mengingatkan, kesedihan akibat keguguran yang rata-rata terjadi di usia kehamilan 8-10 minggu sama mendalamnya dengan kesedihan akibat kehilangan anak di usia berapa pun. Bonding-nya pun sudah sedemikian erat kalau sejak awal kehamilan seorang perempuan menempatkan dirinya sebagai ibu.

Ironisnya, masyarakat luas kerap mengecilkan makna keguguran ini lewat upaya menghibur yang sebetulnya sama sekali tidak memberi penghiburan. Contohnya, "Ya, ikhlasin aja deh! Lebih baik kamu kehilangan dia sekarang selagi belum berbentuk sempurna." Begitu kan kalimat-kalimat "penghiburan" yang kerap kita dengar?

Padahal, sergah Louise, "Di usia kehamilan 7-8 minggu, otak, jantung, dan organ-organ penting lainnya sudah terbentuk. Sudah ada nafas! Dilihat dengan bantuan USG pun sudah nyata ada kehidupan. Secara anatomis si janin sudah ada, meski ukurannya masih amat kecil, masih sekian milimeter dengan berat sekitar 8-14 gram. Jadi, sudah terbentuk, meski belum sempurna. Bahkan ia sudah bisa mendengar detak jantung ibunya. Ini yang seringkali tidak dimaknai secara benar."

Jangan menyalahkan
Kesedihan mendalam juga dikarenakan ibulah yang merasakan "proses" kehamilannya. Ia merasakan bagaimana payudaranya membesar, bagaimana daerah panggulnya dari hari ke hari semakin berisi, dan emosinya bergejolak menerima keajaiban alam yang terjadi pada tubuhnya. Bisa dimaklumi betapa kecewanya jika kehamilan itu tidak dapat diteruskan.

Bila tidak mendapat penanganan semestinya, kekecewaan mendalam ini biasanya akan bertumpuk menjadi depresi atau stres berkepanjangan. Selanjutnya bukan tidak mungkin ibu akhirnya mengalami gangguan hormonal yang menyebabkan gangguan kesuburan. Kondisi ini tentu akan membuatnya semakin dirundung kesedihan.

Karenanya, penting bagi suami istri untuk mengetahui penyebab keguguran janin mereka. Bisa karena seleksi alam akibat sel sperma yang membuahi bukan yang berkualitas terbaik, bisa juga karena sumbatan pada saluran telur Anda. Kepastian penyebab bisa diupayakan melalui pemeriksaan lengkap, termasuk patologi anatomi di laboratorium.

Apa pun penyebabnya, pasangan harus selalu memberi dukungan. Hindari sikap tidak kooperatif dan cenderung menyalahkan ibu. Misalnya, "Tuh, kan, apa aku bilang? Kamu terlalu capek, sih!" Kalimat-kalimat semacam ini tentu saja membuat Anda merasa bersalah meskipun seharusnya tidak perlu demikian.

Lingkungan pun harus memberikan empati dan tidak menghakimi, meskipun itu dimaksudkan sebagai guyonan. Louise menyarankan daripada melontarkan penghiburan namun "salah alamat", lebih baik tidak usah mengatakan apa-apa. Toh, bahasa tubuh justru bisa lebih "bicara" secara tepat. Entah lewat sentuhan di tangan, di punggung, atau rengkuhan di pundak.

Dari sisi sang ibu
Louise juga mengingatkan para ibu yang kehilangan janinnya untuk kembali ke falsafah bahwa anak adalah titipan Tuhan. Falsafah ini akan menuntun calon ibu untuk menerima, mencintai, merawat, dan mendidik anak yang dititipkan kepadanya sebaik mungkin, juga saat masih dalam bentuk janin di kandungan.

Diharapkan falsafah ini membantu calon ibu yang kehilangan janinnya untuk berserah kepada kehendakNya. Kemampuan berserah kepada Illahi inilah yang akan membantu si ibu keluar dari kesedihan. Kesadaran ini juga yang membuat si ibu semakin cerdas secara emosional dan cerdas pula secara religius. Jadikan momen ini sebagai ajang untuk introspeksi diri sebagai seorang musafir di dunia.

Pada dasarnya, kata Louise, hanya si ibulah yang mampu menolong dirinya sendiri keluar dari kepedihan mendalam yang dialaminya karena kehilangan anak. "Ubahlah sudut pandang terhadap situasi yang serbatidak enak menjadi situasi yang serbapositif. Kembalikan saja bahwa usia hidup seseorang itu sepenuhnya jadi rahasia Tuhan. Kalau kita sampai pada pemahaman ini biasanya kita akan menerima apa yang terjadi dengan lebih lapang dada. Sekaligus memunculkan daya juang untuk keluar dari rasa takut, cemas, dan tak berguna."

(Theresia Puspayanti/Tabloid Nakita)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com