Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Gizi: Tak Perlu Cemaskan Aspartam

Kompas.com - 09/04/2010, 10:59 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Merebaknya isu tentang bahaya pemanis buatan aspartam yang kerap terulang di Tanah Air sebenarnya tak perlu terlalu dikhawatirkan. Aspartam merupakan pemanis buatan yang aman bagi kesehatan, dan sejauh ini belum ditemukan bukti penelitian akan dampak negatif penggunaan jenis pemanis ini untuk jangka panjang.

Demikian diungkapkan pakar ilmu gizi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr Lanny Lestiani, MSc, SpGK, dalam diskusi seputar "Metabolic Syndrome & Jenis-Jenis Pemanis" di Jakarta, Kamis (8/4/2010).

Lanny menjelaskan, aspartam adalah jenis pemanis yang paling banyak digunakan dan telah mendapat pengakuan dari WHO serta lebih dari 100 badan regulasi dunia. Di Indonesia, aspartam termasuk salah satu 13 jenis pemanis buatan yang telah mendapatkan izin melalui surat keputusan Badan POM pada 2004 lalu.

Masyarakat selalu dibayangi kekhawatiran menggunakan produk mengandung aspartam karena informasi yang diterima setengah-setengah. Ditambah lagi kesalahpahaman tentang kandungan fenilalanin pada aspartam yang dapat memicu fenilketonuria.

Label peringatan fenilalanin yang wajib dicantumkan pada produk yang mengandung aspartam sebenarnya untuk penderita fenilketonuria yang sudah mengelola penyakitnya sejak dini. Namun, label ini kerap disalahartikan sehingga memberikan andil bagi fobia aspartam.

"Yang begini ini yang membuat orang menjadi takut dengan aspartam," ungkap Lanny.

Padahal, fenilketonuria adalah penyakit metabolik yang sangat jarang, yakni hanya  1 di antara 15.000 orang. Kelainan ini timbul karena seseorang sejak lahir tubuhnya tak menghasilkan enzim yang mencerna fenilalanin disebut fenilalanin hidroksilase.

"Penderitanya pun terbagi dua, yakni heterozygote atau mereka yang masih  memiliki sedikit enzim fenilalanin hidroksilase dan homozygote yang tidak memiliki enzim sama sekali," jelasnya.

Jika tidak ditangani sejak kelahiran, fenilketonuria dapat memunculkan keterbelakangan mental dan berbagai dampak permanen lainnya sehingga mustahil orang normal terkena tanpa mengetahuinya.

Lanny pun menjelaskan, fenilalanin merupakan salah komponen protein biasa yang dapat dicerna sempurna oleh tubuh. Selain fenilalanin, aspartam juga dicerna sempurna menjadi asam aspartat dan metanol.

Karena tiga komponennya yang dapat dicerna tubuh secara sempurna itulah, kata Lanny, aspartam dikategorikan sebagai pemanis non-xenobiotik. Aspartam berbeda dengan dua jenis pemanis populer lainnya, yakni sakarin dan siklamat yang termasuk golongan xenobiotik.

Sakarin dan siklamat disebut xenobiotik karena mengandung senyawa yang di dalam tubuh diurai menjadi komponen asing yang tak dimetabolisme untuk menghasilkan kalori dan bukan merupakan struktural dari tubuh. Tak heran bila sakarin dan siklamat memiliki aftertaste (rasa ikutan) pahit. Rasa pahit ini, kata Lanny, didapat dari bahan yang tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh. 

Demi keamanan, masyarakat juga dapat memerhatikan jumlah asupan harian aspartam yang diperbolehkan. Berbagai lembaga yang mengawasi keamanan pangan, termasuk Badan POM, sudah menerapkan acceptable daily intake (ADI) untuk aspartam adalah 50 mg per kg berat badan per hari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com