Jakarta, Kompas -
Hal itu dikemukakan pemerhati penegakan hukum di bidang obat dan makanan, Weddy Mallyan, dalam acara diskusi bertajuk ”Obat Palsu Tanggung Jawab Siapa?”, Kamis (5/8). Weddy juga mantan Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008, obat palsu
Dia mengatakan, obat palsu jelas berbahaya bagi kesehatan, mengingat tingginya risiko nilai dan faedahnya berkurang karena sudah dicampur dengan suatu bahan lain. Obat itu juga tidak memenuhi syarat keamanan dan kualitas yang terstandar lantaran tidak teregistrasi.
Obat yang sering dipalsukan ialah obat
Pembuatan obat palsu lokal biasanya dibuat oleh sarana ilegal oleh pelaku yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan melakukan pekerjaan kefarmasian. Jenis zat aktif sama kadarnya, tetapi berbeda spesifikasi zat aktif dan terkadang ada bahan tambahan. Kemasannya meniru kemasan dan penandaan produk yang dipalsukan. Tahap-tahap pembuatan obat kerap tidak dilakukan di satu tempat. Adapun obat palsu impor, proses importasi secara ilegal.
Dia mengatakan, masyarakat awam sulit membedakan antara obat palsu dan tidak. Untuk mencegahnya, membeli obat harus di tempat resmi yang berhak menjual obat.
Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan NAPZA BPOM Lucky S Slamet mengatakan, peredaran obat ilegal di Indonesia diperkirakan sekitar 10 persen. Termasuk di dalam kategori obat ilegal ialah obat palsu. ”Dari hasil operasi pasar dan pengujian, obat palsu yang beredar tidak sampai 1 persen,” ujarnya.
BPOM mengawasi, menguji, dan menginvestigasi obat-obatan yang beredar. ”Secara internal, kemampuan uji di lapangan dengan peralatan yang baik terus ditingkatkan,” ujarnya.
Selain itu juga telah dibentuk