Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasih Sayang untuk Penderita Skizofrenia

Kompas.com - 30/08/2010, 11:51 WIB

KOMPAS.com — Setelah 10 tahun, Bagus Utomo (37) baru menyadari bahwa kakaknya, Bayu, menderita skizofrenia atau gangguan jiwa berat. Mengapa begitu lama? Tahun 1995, Bayu mulai memperlihatkan perilaku aneh. Bayu yang ketika itu berusia 30 tahun kerap mengamuk hebat. ”Kami membawanya berobat dan dokter (jiwa) hanya memberikan obat tanpa pernah menjelaskan penyakit yang diderita kakak saya,” ujar Bagus.

Setelah minum obat, keadaan Bayu membaik. Namun, kapan saja, perilaku anehnya bisa kambuh. Dia tidak lagi hanya mengamuk, tetapi juga memaki ayahnya, memusuhi semua orang, dan berteriak histeris sepanjang malam. Perilaku itu berulang selama 10 tahun. ”Selama itu pula kami tidak bisa tidur dan selalu tegang. Keluarga kami bagai dalam neraka,” cerita Bagus, Kamis (26/8/2010).

Ketika keluarga mulai putus asa, Bagus mencari setiap informasi mengenai perilaku aneh seperti yang ditunjukkan kakaknya. Tahun 1998, dia menemukan sebuah situs di internet mengenai skizofrenia. Dari situ, Bagus tahu kakaknya memenuhi ciri-ciri skizofrenia, yakni mengalami halusinasi, waham, dan berperilaku aneh.

Tunggal (36) bahkan baru menyadari kalau kakaknya, Dwi Putro, biasa disapa Pak Wi, menderita skizofrenia setelah 17 tahun. ”Kami hanya tahu Pak Wi dulu suka mengamuk dan keluyuran berhari-hari. Itu terjadi beberapa kali sejak tahun 1983. Kami baru tahu Pak Wi mengalami skizofrenia tahun 2000-an,” tutur Tunggal.

Karena tidak tahu, lanjut Tunggal, kedua orangtuanya salah memperlakukan Dwi. ”Orangtua saya melarang Pak Wi pergi dan mandi sambil menghambur-hamburkan air. Akibatnya, Pak Wi makin tertekan.”

Sari (36) juga ingat bagaimana keluarga besarnya kebingungan menangani Wibi (54), sepupunya, ketika sering mengamuk sejak usia 21 tahun. ”Keluarga mengira Wibi kena santet, makanya dia kami bawa ke pesantren atau orang pintar. Karena tidak ada hasilnya, baru kami bawa ke dokter. Dari situ, kami baru tahu kalau Wibi mengidap skizofrenia,” ujar Sari.

Carla R Marchira, psikater di Fakultas Kedokteran UGM dan RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta, mengatakan, pemahaman soal skizofrenia di kalangan masyarakat relatif rendah. ”Kalau ada orang yang tiba-tiba berperilaku aneh, pasti disangka kena santet. Padahal, boleh jadi itu gejala gangguan jiwa,” katanya.

Selain itu, keluarga umumnya menyangkal jika salah satu anggotanya mengalami gangguan jiwa karena takut kena stigma. Akibatnya, penderita terlambat ditangani dokter. Padahal, lanjut Carla, semakin cepat ditangani, semakin besar kemungkinan penderita bisa pulih.

Menurut standar Indonesia, orang dianggap menderita skizofrenia jika selama satu bulan mengalami gejala psikotik, seperti berhalusinasi dan mengalami waham. Halusinasi adalah kekacauan persepsi pancaindera penderita. Akibatnya, telinga penderita, misalnya, mendengar bisikan-bisikan aneh yang sebenarnya tidak ada. Waham adalah kondisi ketika pikiran penderita tidak realistis. Dia, misalnya, merasa dikejar-kejar pocong atau CIA.

”Kita harus paham bahwa halusinasi dan waham itu berat. Bayangkan kalau setiap saat Anda merasa dikejar-kejar pocong, pasti Anda teriak-teriak ketakutan,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com