Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsumsi Naik, Pengendalian Lemah

Kompas.com - 09/10/2010, 06:18 WIB

Sydney, Kompas - Pengendalian tembakau oleh pemerintah di negara-negara Asia Pasifik masih terbilang lemah. Padahal, konsumsi tembakau di kawasan ini terus naik. Indonesia termasuk yang tertinggal dalam pengendalian tembakau.

Demikian terungkap dalam Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) di Sydney, Australia, 6-9 Oktober 2010. Konsumsi rokok meningkat 2 persen-4 persen per tahun di Asia, sementara negara-negara maju konsumsi rokoknya berkurang 1 persen-1,5 persen per tahun.

Bungon Ritthiphakdee dari Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) mengungkapkan, guna melindungi masyarakatnya, pemerintah jangan berkompromi soal pengendalian tembakau. ”Hampir 60 persen konsumsi tembakau ada di Asia dan Australia,” ujarnya, Jumat (8/10). Konsumsi tembakau terbesar di dunia oleh China, India, dan Indonesia.

Mary Assunta dari International Tobacco Control Project sekaligus SEATCA mengatakan, negara-negara di dunia bergerak ke arah pengendalian produk tembakau, mengingat masalah kesehatan dan beban yang ditimbulkan. Pengendalian tembakau, antara lain, pengaturan kemasan dan pelabelan; perlindungan masyarakat terhadap asap tembakau; pengaturan iklan, sponsor, dan promosi; pengaturan harga dan pajak guna mengurangi permintaan akan rokok; serta regulasi. Implementasinya dalam bentuk peringatan kesehatan bergambar di kemasan rokok (tidak hanya teks); penerapan kawasan tanpa rokok; pelarangan iklan, sponsor; serta peningkatan pajak rokok.

Namun, pelaksanaannya belum merata. Masih ada negara yang setengah hati. Padahal, pengendalian produk tembakau tidak dapat dilakukan setengah-setengah dan harus paralel. Thailand, misalnya, sangat ketat melaksanakan seluruh strateginya. Bahkan, tempat penjualan rokok tidak boleh memamerkan rokok. Namun, sebagian negara hanya menerapkan sebagian strategi dan kadang tidak nasional.

Dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia termasuk sangat longgar. Peringatan kesehatan di kemasan rokok hanya berupa teks dan belum ada pelarangan iklan dan sponsor industri rokok serta harga rokok pun terbilang murah.

Hasil penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang disampaikan Abdillah Ahsan di Forum APACT, prevalensi kebiasaan merokok di Indonesia meningkat, yakni 27 persen pada 1995 menjadi 34,2 persen pada 2007. Selama kurun waktu itu, persentase pengeluaran rumah tangga untuk rokok menduduki peringkat kedua setelah beras (padi-padian). ”Uang rokok sembilan kali pengeluaran pendidikan dan 15 kali pengeluaran kesehatan,” ujar Abdillah.

Penelitian Mardiati Nadjib Hayidin dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI pada 729 keluarga dan 3.231 individu di Sukabumi berkesimpulan serupa. Perokok menghabiskan lebih banyak uang untuk rokok ketimbang pengeluaran per kapita untuk makanan. ”Di kalangan perokok, rokok mengalahkan sembilan komoditas makanan lainnya,” ujarnya. (Indira Permanasari dari Sydney)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com