Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bermimpi Obat Murah

Kompas.com - 21/02/2011, 06:33 WIB

Seandainya harga obat murah, biaya pelayanan kesehatan di Indonesia tentu tidak akan semahal sekarang. Ini karena komponen biaya obat bisa mencapai 45 persen dari total biaya kesehatan. Lalu, mengapa harga obat mahal? Penyebabnya adalah tidak ada subsidi sebagaimana harga bahan bakar minyak. Padahal, harga obat bisa lebih murah kalau kita mengetahui seluk-beluk pasar obat.

Berbagai faktor yang membuat harga obat mahal adalah jumlah dan jenis obat yang beredar di Indonesia terlalu banyak, baik yang menggunakan nama generik maupun nama dagang. Jumlahnya sudah ribuan. Padahal, yang diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan pengobatan/medik hanya 800-1.000 nama generik dan dagang.

Terlalu banyak obat

Selain itu, produsen/pabrikan obat juga terlalu banyak. Tak jarang, satu nama generik diproduksi oleh beberapa produsen dengan harga yang sangat berbeda. Meski khasiat sama, harganya bisa berbeda sepuluh kali lipat. Kalau dokter memberi kita obat yang harganya mahal, sudah tentu harga resep kita menjadi mahal. Padahal, ada pilihan obat dengan harga yang bisa jauh lebih murah dengan khasiat yang sama.

Meski demikian, ada hal-hal yang memang membuat harga obat mahal. Sebagian besar bahan baku obat masih diimpor dan tidak bebas pajak, seperti beras dan bahan pokok lain. Dengan demikian, harga obat lebih banyak ditentukan oleh harga bahan baku, kurs mata uang, dan pasar internasional. Kalau ada gejolak ekonomi yang memengaruhi perekonomian dunia, harga obat bisa naik. Misalnya kenaikan harga BBM atau krisis di suatu negara yang berdampak terhadap distribusi obat.

Selain itu, obat juga sudah menjadi komoditas atau industri yang harus memperhitungkan biaya riset, produksi, dan distribusinya. Obat adalah juga komoditas yang tak banyak diketahui oleh para konsumen atau pasien. Mereka ini, selain tak tahu (ignorance) terhadap obat yang harus dibayarnya, dalam hubungan pasien-dokter, pasien sebagai konsumen hampir selalu berada di pihak yang lemah. Terserah dokter, mau diberi obat apa.

Sebagian besar pasien meminta obat yang dianggap paling mujarab meski harganya mahal. Sementara banyak dokter tentu saja ingin memenuhi keinginan pasien. Urusan obat memang kadang tidak rasional karena yang dipertaruhkan adalah kesehatan, bahkan jiwanya sendiri. Maka, anggarannya sering tanpa batas, sampai ”kantongnya” kosong. Faktor psikologis ini yang dimanfaatkan bagian pemasaran atau detailmen obat yang mendatangi para dokter untuk menuliskan resep obat yang mereka pasarkan.

Dengan kenyataan seperti itu, yang terjadi justru keadaan yang berlebihan (overutilization). Obat yang semestinya tidak perlu—bahkan yang tidak perlu sama sekali pun—diberikan kepada pasien. Inilah yang membuat obat semakin mahal.

Kendali harga dan mutu

Dengan memerhatikan kondisi pasar obat, sebagaimana dikemukakan di atas, sesungguhnya masih ada celah untuk menurunkan harga obat. Kalau jumlah dan jenis obat yang beredar bisa ditekan sampai pada jumlah yang wajar—dengan syarat tetap memenuhi kebutuhan pengobatan/medik—harga obat bisa turun dengan mutu yang tetap terjamin. Sebab, obat yang tercantum dalam daftar obat itu adalah pilihan para ahli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com