Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanpa Asuransi, Harga Obat Tak Bisa Dikendalikan

Kompas.com - 23/02/2011, 05:59 WIB

Jakarta, Kompas - Selama harga obat dilepas ke pasar bebas, harga obat sulit dikendalikan. Demikian pula kolusi dokter-farmasi. Tidak akan ada efek pengaturan harga obat terhadap keterjangkauan masyarakat terhadap obat, kecuali lewat asuransi kesehatan sosial yang mencakup seluruh penduduk.

Hal tersebut dikatakan Guru Besar Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany, Selasa (22/2) di Jakarta. Menurut dia, akibat kesenjangan pengetahuan kedokteran, masyarakat tidak memiliki kendali untuk menentukan obat yang digunakan sehingga tergantung dari dokter yang memilihkan.

Untuk itu, perlu ada badan yang bertindak untuk kepentingan masyarakat dalam menekan harga obat. Di negara-negara maju, perangkatnya adalah asuransi kesehatan sosial. Perusahaan farmasi bisa menurunkan harga obat karena ada pasar yang pasti (asuransi) dan tidak perlu mengeluarkan biaya promosi obat ethical (obat yang hanya bisa digunakan dengan resep) kepada para dokter.

Adapun negara Asia yang menerapkan asuransi kesehatan sosial antara lain Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Korea Selatan.

Menurut Hasbullah, implementasi asuransi kesehatan sosial yang diamanatkan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) terhambat karena pemerintah tidak punya niat untuk menjalankan. Pembahasan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menjadi syarat pelaksanaan asuransi kesehatan sosial di DPR kini mandek. ”Alasan Menkeu, pemerintah tidak siap untuk membahas RUU tersebut,” kata Hasbullah.

Pemerintah berkeras, agar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan menjadi BPJS, yakni PT Jamsostek (Persero) dan PT Askes (Persero), berubah menjadi perum. Padahal, UU SJSN mengamanatkan BPJS adalah badan hukum khusus yang bersifat nirlaba, di mana tidak ada laba, melainkan surplus yang bukan menjadi obyek pajak. Contoh badan hukum khusus adalah BI.

”Dengan menjadi perum, kedua badan itu tetap tunduk pada UU BUMN dan bertentangan dengan UU SJSN. Walau tidak lagi menyetor keuntungan kepada pemerintah, tetapi tetap terkena pajak. Misalnya, ada pendapatan Rp 2 triliun setidaknya akan kena pajak Rp 600 miliar. Dana itu seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan peserta asuransi,” kata Hasbullah.

Jika menjadi badan hukum khusus, kontrol tidak lagi di bawah pemerintah, melainkan di DPR. Direksi juga harus diangkat lewat fit and proper test oleh DPR.

Menteri BUMN Mustafa Abubakar di sela-sela rapat kerja kabinet di Bogor, Jawa Barat, menyatakan, pemerintah menilai, tidak perlu mengubah status PT Jamsostek (Persero), PT Askes (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri (Persero) untuk menjalankan program jaminan sosial. Keempat BUMN tersebut dinilai sudah memenuhi syarat menjadi BPJS karena tidak lagi menyetor dividen ke pemerintah. Jadi tinggal memperluas layanan.

Di sisi lain, ternyata Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) belum melindungi seluruh penduduk miskin. Sejumlah jenis obat tidak masuk dalam daftar obat yang ditanggung. Akibatnya, pasien dengan penyakit tertentu rentan terkena dampak mahalnya harga obat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com