Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anda Berhak Mendapat Kantor Ramah Perempuan

Kompas.com - 11/03/2011, 16:37 WIB

KOMPAS.com - Perusahaan konsultan manajemen, teknologi, dan alih daya global, Accenture, merilis hasil penelitian tahunannya untuk memeringati Hari Perempuan Internasional. Penelitian pada 2011 ini menunjukkan hasil perspektif perempuan dan laki-laki setara di seluruh dunia dalam kariernya.

Riset ini menunjukkan 59 persen perempuan mau berusaha mengembangkan pengetahuan atau keahlian untuk mencapai tujuan karier. Sebanyak 55 persen perempuan juga mengaku puas dengan tingkat kariernya. Meski begitu 63 persen perempuan mengaku jalur karier tak bisa melaju cepat. Berbagai kondisi membuat perempuan merasa tak bisa mengejar jenjang karier. Mulai hambatan yang datang dari dirinya sendiri karena merasa tak mampu, inferior, atau bahkan menganggap dirinya hanya sebagai kelas kedua. Selain itu juga faktor di luar dirinya terkait kebijakan perusahaan yang belum ramah perempuan.

Banyak perempuan bekerja, dengan perannya sebagai istri, ibu, dan individu, yang membutuhkan dukungan dari perusahaan untuk mendapat kesempatan dalam berkarier. Artinya, secara individu, perempuan punya kompetensi dan talenta yang setara dengan pria dalam merintis karier. Namun, di sisi lain, kesempatan untuk berkarier tak sepenuhnya terbuka dengan berbagai pertimbangan. Saat mutasi misalnya, pekerja perempuan masih belum bisa seleluasa pria (karena hambatan dari dalam dan luar dirinya). Belum lagi dalam aktivitas bekerja sehari-hari, yang menempatkan perempuan bekerja untuk berusaha lebih ekstra menyeimbangkan multiperannya. Belum banyak perusahaan yang menerapkan konsep kantor ramah perempuan.

Kompas Female menemui sejumlah profesional untuk menanggapi isu perempuan ini usai diskusi panel memeringati International Women's Day yang diadakan oleh Accenture di Hotel JW Marriot Kuningan, Jakarta, Jumat (11/3/2011).

Perempuan Indonesia belum banyak bersuara dipengaruhi budaya yang berbeda

Tara Hidayat, Deputi IV Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, mengatakan perlu ada riset lebih lanjut untuk melihat sejaumana kebutuhan kantor ramah perempuan di Indonesia. Kebutuhan yang dimaksud di antaranya pengadaan ruang menyusui atau penitipan anak. Kondisi di Indonesia berbeda dengan negara lain di dunia, lanjutnya. Perusahaan multinasional juga berbeda perspektifnya dengan perusahaan lokal. Belum lagi, perempuan itu sendiri juga belum menunjukkan urgensi kebutuhan kantor ramah lingkungan karena adanya budaya menitipkan anak pada keluarga atau pengasuh anak.

"Perusahaan multinasional yang ada di Indonesia boleh jadi sudah menerapkan konsep kantor ramah perempuan. Ada kekuatan hukum skala global yang mengingat mereka untuk mengimplementasikan itu. Sementara untuk kondisi Indonesia, rasanya tidak perlu kebijakan atau kekuatan hukum yang mengikat, tapi cukup dengan inisiatif dari pemimpin yang terkait dengan isu perempuan. Cukup masukkan dalam budget mengenai kebutuhan ini. Namun kondisinya di Indonesia juga berbeda. Perempuan bekerja itu sendiri belum menunjukkan urgensi kebutuhan ini, karena merasa masih bisa menitipkan anak pada kakek nenek, adik, kakak, dan pengasuh anak. Sementara di luar negeri, budayanya berbeda, mereka lebih independen dan membutuhkan fasilitas daycare untuk menunjang karier mereka," jelas Tara.

Perlu ada sosialisasi bahwa perempuan setelah menikah juga bisa produktif
Felia Salim, Vice President Director PT Bank Negara Indonesia mengatakan, perlu ada sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada korporasi bahwa perempuan, setelah menikah, bukan berarti akan menjadi tidak produktif.

Saat diskusi, Felia menjelaskan, ia tengah menggarap kebijakan mengenai mutasi yang mendukung karier perempuan bekerja yang berpotensi. Meski harus menyuarakan kebutuhan perempuan di tengah jajaran direksi yang didominasi laki-laki, Felia mengatakan penggunaan strategi tepat bisa membuat upayanya membuahkan hasil baik.

"Nilai perusahaan menjadi ukuran dari program mutasi untuk mendukung karier perempuan ini. Yang penting diukur produktivitas dan kontribusi si perempuan pekerja terhadap perusahaan, bukan kepada isu hak perempuan semata. Cara berpikirnya harus diubah, jangan menggunakan pola lama. Ukuran yang digunakan sebelumnya hanya melihat jabatan yang pernah ia duduki di perusahaan, padahal soal mutasi bukan melulu soal kenaikan pangkat. Fokusnya harus berubah, yakni untuk menajamkan portfolio bisnis yang ia pegang," jelas Felia.

Perempuan pekerja juga harus memulai inisiatif

Perempuan juga bisa leluasa mengembangkan dirinya dalam karier, berkesempatan menjalani mutasi ke mana saja setara seperti karyawan pria. Asalkan, perusahaan juga membuka jalan bagi perempuan untuk mengambil kesempatan ini. Selain itu individu perempuan itu sendiri yang tak meremehkan dirinya dan percaya diri untuk menunjukkan talentanya.

Amy Atmodjo, Marketing Communication Advisor dari Accenture berpendapat, lima tahun terakhir, perspektif perusahaan semakin bergeser ke arah yang lebih akomodatif terhadap perempuan bekerja. Perusahaan mulai mengimplementasikan waktu kerja yang fleksibel, bahkan bekerja dari rumah hingga menyediakan fasilitas ramah perempuan bekerja seperti ruang menyusui.

Menurut Amy, kebanyakan perusahaan akan menyadari kebutuhan ini karena adanya inisiatif dari karyawannya. Begitu perusahaan mengakomodasi kebutuhan ini, dibuatkan kesepakatan bersama antara perusahaan dan karyawan. Dengan begitu, karyawan memiliki rasa tanggungjawab yang tinggi atas keleluasaan yang diberikan kepadanya dan mampu berkontribusi dengan baik untuk perusahaan.

"Jika karyawan tidak bertanggungjawab dampak jangka pendeknya dikeluarkan, namun dampak jangka panjang lebih serius, ia akan kesulitan mendapatkan referensi dan reputasi menjadi taruhan. Di sisi lain perusahaan juga semakin menyadari, bahwa mereka harus membuat betah karyawan yang berpotensi. Caranya mereka memberikan kesempatan karyawan mengembangkan karier di perusahaan yang sama. Jenjang karier tak harus ke atas untuk menempati posisi pimpinan, namun juga bisa bergeser ke divisi lain yang sesuai minat dan keahliannya di perusahaan yang sama," jelasnya.

Amy menambahkan, perusahaan juga harus memberikan kepercayaan kepada karyawan agar kebijakan ramah perempuan berjalan mulus. "Kondisi di Jakarta rasanya tidak relevan jika karyawan masih harus absen langsung ke kantor misalnya, di tengah aktivitasnya yang lebih banyak di lapangan," ungkap Amy, menunjukkan fleksibilitas waktu kerja menjadi kebutuhan banyak pekerja. "Saya sendiri menerapkan flexi time dalam bekerja," akunya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com