Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Segerobak Instruksi SBY

Kompas.com - 13/07/2011, 03:10 WIB

Oleh Febri Diansyah

Tangkap Nazaruddin. Usut pelaku penganiayaan aktivis ICW, Tama S Langkun. Terapkan hukum tanpa pandang bulu. Pemerintah menjamin agenda pemberantasan korupsi secara nasional. Saya (SBY) sangat adil dan tidak ragu-ragu dalam pemberantasan korupsi. Katakan tidak pada korupsi!

Ada banyak lagi instruksi, slogan, pidato, dan pernyataan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—sebagai kepala negara dan pemerintahan ataupun bagian dari partai politik—yang semakin hari semakin jauh panggang dari api.

Di sisi lain, Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyatakan, hanya 17 dari 34 kementerian yang menjalankan instruksi Presiden (Kompas, 8/7). Artinya, setengah instruksi, arahan, dan tugas yang diberikan kepada kementerian dilaksanakan dan setengah lagi gagal.

Apa yang disampaikan UKP4 ini menarik dicermati. Pertanyaan krusialnya, apakah masalah di balik tidak terlaksananya sejumlah instruksi Presiden terletak pada kemalasan, kapasitas, dan kepatuhan para menteri atau sebaliknya, pada ketidakmampuan Presiden Yudhoyono memimpin jalannya pemerintahan. Pertanyaan ini tentu saja jawabannya tidak sederhana. Hal ini karena kita tidak ingin kegagalan pemimpin dialihkan begitu saja menjadi tanggung jawab bawahan.

Khusus soal pemberantasan korupsi, tingkat pelaksanaan instruksi bukan tidak mungkin jauh lebih rendah. Dengan mudah kita bisa menemukan fakta-fakta yang bertolak belakang dengan janji, instruksi, dan pidato Presiden. Sebut saja inpres tentang penuntasan kasus Gayus dan mafia pajak. Tiga belas surat sakti yang ditandatangani Yudhoyono tinggal sejarah di atas kertas. Sampai saat ini, pelaku suap Rp 28 miliar tidak terungkap dan kasus Rp 75 miliar tidak jelas perkembangannya. Hanya aktor kelas teri yang terjerat skandal besar ini. Pembenahan institusi pajak, kepolisian, dan kejaksaan? Jangan harap!

Jika ditarik ke belakang, mulai pembentukan tim pemburu koruptor, Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009, kriminalisasi KPK, rekening gendut perwira Polri, penganiayaan Tama S Langkun, hingga banyak masalah lain, semua tenggelam bersama waktu. Walau demikian, tampaknya Presiden tak lelah membuat instruksi. Dalam kasus suap wisma atlet yang diduga melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Yudhoyono kembali mengeluarkan perintah kepada Kapolri untuk menangkap Nazaruddin.

Tangkap Nazaruddin

Tentu boleh-boleh saja kita tidak percaya dengan instruksi Presiden ini. Membaca tren perintah hampa yang berlangsung sejak jilid pertama pemerintahannya, rasanya memang berlebihan jika kita berharap banyak pada komitmen Yudhoyono, baik sebagai Presiden maupun Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Maka, ada benarnya ungkapan peribahasa yang disampaikan Buya Syafii Maarif, ”Janganlah kau berharap tanduk pada kuda”.

Pertama, perintah tersebut lebih menonjolkan sisi kosmetik politik ketimbang sebuah instruksi yang dikawal dan dipastikan implementasinya. Jangan lupa, bukan kali ini saja Yudhoyono membuat instruksi kepada Kapolri. Poin ketiga surat Presiden pada kasus aktivis ICW, Tama S Langkun, ada instruksi untuk Kapolri. Satu tahun berselang (9 Juli 2011), apa yang dihasilkan? Tak setitik pun kebenaran terungkap. Bahkan, kasus rekening gendut Polri yang menjadi inti masalah saat itu bisa jadi tak lagi ada di ingatan Presiden.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com