Jakarta, Kompas -
Menurut pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa dalam lokakarya media, Sabtu (8/10), di Jakarta, penerapan pola kerja sama pemerintah-swasta (KPS) dengan penjaminan pemerintah pada proyek PLTU Jawa Tengah sebenarnya merupakan alternatif pendanaan proyek mengingat PLN kesulitan dana dalam membiayai proyek skala besar. Dengan skema KPS berupa
Namun, penerapan skema KPS tersebut perlu dikaji agar tidak menimbulkan beban keuangan bagi PLN. ”Harus dicermati detail perjanjian, berapa harga jual listrik per kWh, berapa pembayaran listrik yang harus ditanggung setiap tahun, apakah harganya tetap atau tidak. Kita juga perlu tahu berapa rata-rata biaya produksinya. Idealnya, tarifnya tidak terlalu jauh dari rata-rata tarif listrik pembangkit PLN mengingat sudah ada jaminan pemerintah dan tingginya efisiensi di pembangkit listrik karena memakai teknologi superkritikal dan skalanya besar,” kata dia.
Dokumen pelaksanaan dan penjaminan proyek PLTU Jawa Tengah ditandatangani pada Kamis (6/10). Dokumen itu terdiri dari perjanjian jual-beli listrik antara PT PLN dan pengembang listrik swasta PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), perjanjian penjaminan Menteri Keuangan dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) sebagai penjamin dengan PT BPI, perjanjian regres antara Menteri Keuangan sebagai penjamin dan PLN, perjanjian regres antara PII sebagai penjamin dan PLN, serta perjanjian sponsor untuk pengembangan proyek antara J-Power, Itochu, dan Adaro.
Menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dalam sambutannya, proyek PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek dengan pola KPS skala besar pertama dengan nilai investasi lebih dari Rp 30 triliun dan masuk dalam Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).