Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moratorium Remisi Koruptor Perlu Payung Hukum

Kompas.com - 01/11/2011, 19:28 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Moratorium atau pemberhentian sementara pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi dinilai tidak dapat berjalan hanya berdasarkan pada pernyataan lisan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, M Jasin, Selasa (1/11/2011) di Jakarta mengatakan, diperlukan payung hukum agar kebijakan strategis dalam pemberantasan korupsi itu dapat efektif diterapkan. "Harus ada dasar aturan untuk berpijak, jadi, memang perlu aturan," ujar Jasin dalam pesan singkat kepada wartawan.

Kementerian Hukum dan HAM mencetuskan moratorium pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada koruptor sejak Amir Syamsuddin diangkat menjadi Menkum dan HAM pada 19 Oktober 2011. Amir menegaskan bahwa moratorium remisi terhadap terpidana korupsi ini merupakan kebijakan pemerintah. Amir juga mengatakan bahwa dia belum pernah memberikan izin pembebasan bersyarat terhadap terpidana korupsi selama dia menjabat.

Setelah pernyataan Amir soal moratorium tersebut, terpidana kasus suap cek perjalanan, Paskah Suzetta, batal bebas bersyarat pada Senin kemarin. Kuasa hukum Paskah, Singap Panjaitan, mengatakan bahwa anggota DPR 1999-2004 itu telah mengantongi surat Dirjen Pemasyarakatan tertanggal 12 Oktober yang menyatakan Paskah bebas bersyarat terhitung sejak Sabtu, 29 Oktober 2011.

"Bukan hanya omongan, tapi surat, ada surat dari Dirjen atas nama menteri bahwa Paskah secara admin dan substansif sudah bebas bersyarat," ujar Singap, Selasa.

Ia mengatakan, pada Sabtu pekan lalu itu, pihaknya mendapat telepon yang melarang Paskah keluar tahanan. "Tanggal 29 ada telepon, jangan dulu keluar, mengaku dari kementerian," katanya.

Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Baharuddin Aritonang, terpidana lainnya dalam kasus yang sama, menganggap moratorium tersebut sebagai pelanggaran HAM. Ia menilai Menkum dan HAM telah semena-mena menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pencitraan dan bukan kepentingan hukum.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com