Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusaknya Otak dan Hati

Kompas.com - 08/03/2012, 09:46 WIB

Penulis: M Zaid Wahyudi

Perilaku manusia sehat dikendalikan otak bagian depan yang disebut korteks prefrontalis. Bagian ini mengontrol pikiran manusia. Namun, mereka yang cenderung melakukan kekerasan, perilakunya diatur oleh amigdala yang mengon- trol emosi dan mental.

Sekretaris Jenderal Indonesia Neuroscience Society, yang juga dosen Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufiq Pasiakm, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (5/3), mengatakan, otak manusia yang cenderung melakukan kekerasan dan para pelaku kejahatan umumnya mengalami kerusakan pada bagian korteks prefrontalis. Bagian ini berurusan dengan rasa malu, empati sosial, dan pengaturan norma-nilai dalam kehidupan.

Kerusakan korteks prefrontalis membuat manusia kehilangan tata krama sosial, menjadi antisosial, kehilangan rasa bersalah, dan kematangan emosinya terganggu. ”Perilaku orang sehat dikendalikan oleh pikiran, bukan emosi,” katanya.

Mereka yang mengalami kerusakan korteks prefrontalis menjadi tidak santun, kasar, mudah marah, agresif, dan emosional. Dalam kondisi ini, peranan amigdala lebih dominan dibandingkan korteks prefrontalis. Artinya, emosi lebih menguasai dibandingkan pikiran.

Banyak hal yang menjadi penyebab kerusakan korteks prefrontalis. Hal itu antara lain adanya tumor, efek samping pembedahan, dan cedera.

Pelaku kekerasan dan kejahatan, termasuk koruptor, tahu tindakan mereka buruk dan salah. Namun, pemahaman itu tidak dapat ditransformasikan dalam perilaku akibat bagian otak yang menerjemahkan pengetahuan ke dalam perilaku rusak.

”Pelaku kejahatan, baik sebagai profesi, hobi, atau karena situasi, semuanya menderita gangguan otak. Bisa jadi otaknya normal, tetapi tak sehat,” katanya.

Selain itu, otak juga memiliki sifat neuroplastisitas (berubah secara alami). Perubahan ini akibat stimulus, baik fisik melalui olahraga maupun nonfisik melalui pelatihan mental.

Melatih mental melalui meditasi, zikir, tafakur (perenungan), ataupun pengharapan (optimisme) bisa mengolah mental menjadi positif. Ini akan berdampak pada positifnya emosi dan selanjutnya memengaruhi otak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com