Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset Perlu Berbasis Kondisi Masyarakat

Kompas.com - 04/04/2012, 03:44 WIB

Jakarta, Kompas - Kondisi genetik, lingkungan, dan gaya hidup manusia Indonesia berbeda dengan bangsa lain. Untuk itu, diperlukan riset-riset kedokteran dalam negeri untuk menghasilkan teknik dan proses pengobatan yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat.

Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) Aru W Sudoyo di sela-sela penganugerahan Dana Riset Papdi-Novell di Jakarta, Selasa (3/4), mengatakan, hasil penelitian luar negeri sering tidak dapat diterapkan di Indonesia akibat perbedaan genetik antarkelompok etnik atau ras.

Kondisi genetik yang berbeda membuat respons obat yang diberikan juga berbeda. ”Ke depan, pengobatan akan mengarah ke pengobatan personal yang dikaitkan dengan sifat khusus yang dimiliki seseorang,” katanya.

Direktur PT Novell Roy Lembong menambahkan, pasien Indonesia memiliki pola hidup dan penyakit yang berbeda. Kondisi khusus ini kurang diminati peneliti Barat karena kurang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Karena itu, penelitian klinis dari ahli-ahli Indonesia perlu lebih banyak dilakukan. Penelitian ini tidak hanya dilakukan oleh dokter di universitas, tetapi juga dokter yang sehari-hari hanya praktik menghadapi pasien.

Untuk mendorong penelitian klinis yang aplikatif, Papdi dan PT Novell memberikan dana riset Papdi-Novell. Dana riset ini diberikan untuk dua tim dokter spesialis penyakit dalam dari Jakarta dan Yogyakarta.

”Penelitian yang diharapkan bukan yang berteknologi tinggi atau penelitian molekuler, melainkan yang bisa diaplikasikan secara klinis sehingga mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian pasien,” kata Aru.

Psikoterapi

Tim pertama yang memenangi dana riset Rp 100 juta adalah anggota Papdi Yogyakarta yang juga pengajar di Bagian Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada. Mereka akan meneliti pengaruh pemberian fluoxetine (obat antidepresan) dan latihan pasrah diri (LPD) terhadap kontrol gula darah, derajat inflamasi, dan kualitas hidup penderita diabetes melitus.

Menurut ketua tim, Noor Asyiqah Sofia, penelitian ini didasari atas kondisi penderita diabetes melitus yang 30-40 persen mengalami depresi. Depresi ini mempersulit kontrol glukosa darah (glikemik), meningkatkan komplikasi, mengurangi kepatuhan berobat, dan akhirnya mengurangi kualitas hidup.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com