Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/04/2012, 00:03 WIB

KOMPAS.com — Masih banyaknya jamu dengan kandungan bahan kimia obat (BKO) yang beredar di pasaran menyebabkan citra jamu menjadi buruk. Hal ini harus terus menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Kementerian Kesehatan, yang wajib memberantas peredaran jamu ilegal tersebut.

Demikian disampaikan Ketua Umum Asosiasi Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) Charles Saerang saat acara temu media PT Nyonya Meneer, Kamis (5/4/2012), di Jakarta. 

"Itu jamu yang harus dimusnahkan karena membuat citra jamu buruk. Jadi orang yang buat BKO itu tidak punya rasa kebanggaan terhadap produk jamu," tegasnya.

Saerang mengatakan, pemerintah seharusnya mengayomi keberadaan jamu sebagai aset budaya. Minimnya sosialisasi dan pembinaan dalam memberi suatu kejelasan informasi tentang penggunaan jamu yang benar dianggap sebagai suatu alasan kenapa peredaran jamu dengan BKO masih terus ada.

"Kita kurang pembinaan. Pembinaan ini tidak sekadar di-sweeping, ditangkap. Tetapi, harus ada yang namanya pendidikan terkait masalah kesadaran minum jamu yang benar," bebernya.

Di sisi lain, masyarakat juga harus diberikan pemahaman dan informasi yang benar bahwa jamu yang memiliki khasiat langsung alias cespleng justru jenis jamu yang berbahaya karena mengandung BKO.

Menurut Saerang, cara kerja dari jamu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan vitamin. Butuh sebuah proses atau tahapan hingga seseorang dapat betul-betul merasakan manfaatnya. Jadi, tidak tiba-tiba langsung terasa manfaatnya.

"Kalau yang cespleng dan namanya aneh-aneh harus diwaspadai. Karena isinya bisa berupa paracetamol, steroid, aspirin, yang kita tidak tahu berapa kadar atau dosisnya," ungkapnya.

Untuk mengatasi hal ini, Saerang meminta kepada Badan POM untuk teratur melakukan sampling produk jamu yang beredar di pasaran. GP Jamu juga diharapkan ikut terlibat dalam rangka melaporkan temuan produk jamu yang disinyalir mengandung BKO setiap bulannya.

"Jadi ini butuh kerja sama semua sektor, jangan jalan sendiri-sendiri," tutupnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com