KOMPAS.com - Pada saat menuliskan tulisan ini, saya sedang berada di Beijing China mengikuti acara Regional Neuroscience Conference yang dihadiri beberapa sejumlah negara di Asia. Delegasi dari berbagai negara Asia ini mengikuti konferensi selama dua hari membahas perkembangan di bidang psikiatri, khususnya untuk gangguan depresi dan gangguan bipolar.
Pada hari pertama penyelenggaraan konfrensi, topik yang ditekankan adalah tentang gangguan depresi. Gangguan depresi adalah suatu gangguan psikiatri yang bisa dikatakan paling banyak diderita oleh penduduk dunia. Beberapa penelitian mengungkapkan prevalensi atau angka kejadian gangguan depresi berkisar antara 15-30% menurut berbagai data penelitian yang dilakukan di berbagai negara. Angka kejadiannya meningkat pada beberapa populasi khusus seperti lanjut usia dan pasien dengan kondisi medis umum.
Jika dulu gangguan depresi lebih dianggap sebagai bagian dari kondisi situasional yang melibatkan faktor lingkungan luar, maka sekarang telah banyak penelitian mengungkapkan peranan suatu kondisi biologis yang bekerja sama dengan faktor lingkungan dalam menghasilkan gangguan depresi pada individu. Penelitian mengatakan, ada beberapa individu yang mempunyai kerentanan genetik untuk mengalami depresi dan ketika bertemu dengan lingkungan yang penuh tekanan, maka kondisi depresi akan muncul pada individu tersebut.
Belakangan ini, para ahli lebih menekankan adanya aspek gangguan somatik atau gangguan yang melibatkan keluhan fisik dari pasien-pasien yang mengalami gangguan depresi. Gangguan nyeri adalah salah satu yang banyak dikaitkan dengan kondisi nyeri pada pasien depresi.
Pasien depresi bisa mengeluh sakit kepala, nyeri punggung/pinggang, nyeri leher/tengkuk, nyeri pada persendian, nyeri dada, nyeri daerah pelvis, nyeri perut bahkan yang mengeluh nyeri seluruh tubuh. Dalam praktek sehari-hari, penelitian mengatakan hampir lebih dari 65% pasien gangguan depresi mengeluh nyeri (Bair dkk,2003).
Pengobatan pada pasien depresi dengan gangguan nyeri juga telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Jika dulu lebih mengutamakan perilaku "wait and see" dan hanya meresepkan obat sesuai keluhan pasien, maka saat ini dengan begitu banyaknya bukti tentang keterlibatan biologis terutama sistem serotonin dan norepineprin, maka harus dilakukan suatu terapi yang agresif dan berlaku secara individual.
Artinya, dokter perlu segera melakukan penanganan kasus gangguan depresi sekaligus keluhan nyeri yang dialami pasien dan pengobatannya berlaku secara individu karena tentunya tiap orang mempunyai gejala-gejala yang berbeda.
Inti dari pengobatan ini tentunya selain menghilangkan keluhan suasana perasaan pada pasien depresi juga menghilangkan keluhan nyeri pada pasien ini juga. Banyak penelitian mengatakan pengobatan antidepresan pada pasien depresi lebih sering hanya memperbaiki kondisi gangguan suasana perasaannya saja, tetapi tidak gangguan fisik terkait depresi tersebut. Untuk itulah, pemilihan obat yang tepat perlu dilakukan untuk menangani kasus seperti ini.
Pada kesimpulannya, kita harus menganggap gangguan depresi sebagai penyakit yang serius yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien dan meningkatkan angka kesakitan di populasi umum. Depresi saat ini juga telah lebih jauh dari hanya sekedar gangguan mood yang melibatkan gejala suasana perasaan saja, tetapi saat ini gangguan fisik terutama nyeri serta kondisi medis umum yang menyertai depresi juga perlu mendapatkan perhatian.
Pengobatan yang tepat yang mengarahkan pada perbaikan kondisi mood dan kondisi gangguan fisik termasuk nyeri adalah yang disarankan untuk pasien yang mengalami gangguan depresi.
Salam Sehat Jiwa