Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cari "Second Opinion", Perlu Enggak Sih?

Kompas.com - 07/05/2012, 14:39 WIB

KOMPAS.com - Menjadi bidan kadang harus berhadapan dengan pasien lebih lama dari dokter. Kesempatan ini tak jarang membuat bidan atau perawat terlibat dalam percakapan dengan pasien tentang "curhatan" mereka soal pemeriksaan dokter. Beberapa kali, saya juga  menemukan ada pasien yang sengaja periksa bukan hanya pada satu dokter, dia bahkan punya lebih dari dua dokter kandungan untuk periksa kehamilannya.

Baru minggu ini saja, saya sudah bertemu empat pasien yang mencari second opinion. Waduh pikir saya, pelayanan di dunia medis ini makin menarik saja. Sebagian ada pasien yang punya dokter dobel  tapi ada pula sebagian lain yang periksa ke bidan saja tidak mampu bahkan kadang periksa antenatal (kehamilan) jadwal datangnya "bolong - bolong", untung sekarang ada jampersal, jadi mereka taat periksa hamil karena persalinannya ditanggung gratis.

Ketika saya tanya ibu Farah (nama samaran) yang berusia 25 tahun," Bu, untuk apa periksa kehamilan ke beberapa dokter kandungan, apa nggak malah bingung?" "Sttt...diam-diam lho sus..rahasia, ntar dokternya tersinggung, Soale aku takut pas lahiran tiba-tiba dokternya pergi terus aku yang nolongin siapa? Kalau dititipin aku nggak kenal sama dokternya"

Kasus lain ada yang begini: " Lho bu, periksanya kok sudah lengkap ada USG nya. Ibu sebelum ini periksa ke dokter mana?" " Oh ke dokter" H" bu bidan , tapi tempatnya rame banget. Antreannya panjang untuk periksa. Kadang  aku mau tanya-tanya dah tegang duluan soalnya dokter buru-buru. Akhirnya sampai lupa mau tanya apa. Kata teman sih di sini dokternya mau jelasin, cuma alatnya kurang canggih enggak ada USG empat dimensinya, secara.. aku kan ya pingin share ke BB sama teman temanku tentang perkembangan si adek. Hmm  kesimpulannya jadi saya cuma mau tanya-tanya aja, nggak apa kan sus? "

Ada juga yang alasan sekedar mencoba saja. Sebut saja Mira ( 30 tahun) "Dokter kandungan saya baik, ramah dan sabar. Tapi kalau pas lahiran hanya bisa di rumah sakit " B" katanya harus caesar. Teman-teman saya di kelas ibu hamil cerita ada dokter yang  lagi terkenal. Lalu saya iseng coba ke sana siapa tahu bisa normal, eh ternyata posisi anak saya tetap melintang jadi harus caesar. Ya cuma cari-cari pendapat lain saja bu bidan hehehehe"

Ya, seninya jadi bidan kalau sudah menghadapi pasien yang biasa "doctor shopping". Itu baru pasien yang periksa dari dokter ke dokter, ada juga dari bidan ke bidan, dari dokter ke bidan dan sebaliknya. Pernah dalam keadaan yang menyedihkan pasien periksa ke dua dokter dan satu bidan, lalu karena pekerjaanya wiraswasta menuntut sering  perjalanan Malang-Surabaya , maka dia punya dokter di dua tempat dan karena bingungnya malah lupa kapan waktunya kontrol, terbalik-balik jadwal periksanya. Nah pada saat cukup bulan, dia meremehkan pesanan untuk kontrol. Alasannya, karena tiga hari yang lalu hasil rekaman NS  (rekaman detak jantung bayi) normal.

Lalu apa yang terjadi, bayinya sampai lewat seminggu belum lahir dan dia lupa kontrol lagi? Saat datang bayinya sudah meninggal di dalam kandungan. Second opinion memang hak pasien dan kadang ada juga yang sangat terbantu berkat second opinion, misalnya dinyatakan sakit tertentu tapi setelah periksa di dokter lain ditemukan diagnosa yang pasti.

Bisa dimaklumi keinginan para pasien memang beragam, terutama bagi pasangan yang ingin hamil pasti juga usaha ke beberapa spesialis kandungan. Ada beberapa pasien yang merasa bersyukur dan beruntung telah menggunakan second opinionnya. Misalnya, ternyata bukan menderita penyakit kanker, berhasil mendapatkan kehamilan, diagnosa yang sebelumnya kurang tepat  atau bisa juga berkat second opinion akhirnya mendapat pengobatan yang lebih cepat dan bagus pelayanannya.

Nah,yang terakhir  ini memang menjadi "PR" tersendiri untuk tenaga medis. Namun demikian menggunakan pilihan second opinion ini sebaiknya harus dengan bijaksana. Memilih tenaga kesehatan baik dokter, bidan dan perawat adalah hak pasien untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakitnya.

Sesuai dengan Undang-undang Kesehatan No 29 tahun 2004, salah satunya termasuk mencari pendapat lain tentang kesehatan dan kondisi tubuhnya. Beberapa hal yang sering muncul menjadi alasan adalah ketidakmengertian pasien atas penyakit  atau keadaan kesehatannya, tenaga kesehatan yang kurang informatif, tidak bisa berdiskusi dengan dokternya, manajemen pelayanan kesehatan  kurang profesional, tidak  puas dengan terapi yang diberikan, keinginan yang kuat  dari pasien untuk mendapat harapan lain atas keadaan penyakit yang diderita, kesalahan persepsi pasien atas penjelasan tentang penyakitnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com