Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gejala Kurang Perhatian di Perusahaan

Kompas.com - 27/06/2012, 09:07 WIB

KOMPAS.com - Begitu banyak masalah bisa timbul bila kita “kurang perhatian”. Para ahli jiwa sering membicarakan anak-anak yang nakal atau punya masalah emosional disebabkan karena mereka tidak mendapat perhatian cukup dari orang tuanya. Dari sini kita sadar ternyata perhatian sangat penting untuk perkembangan jiwa manusia. Dalam relationship, banyak istri atau suami yang mengeluhkan kurangnya perhatian dari pasangannya sebagai alasan rumah tangga yang tidak harmonis.

Di perusahaan atau lembaga, kita terbiasa melihat orang yang tidak menyimak atau sibuk sendiri ketika orang lain sedang menyampaikan sesuatu, sehingga terus-menerus terjadi miskomunikasi atau informasi dan arahan kerap salah diterima. Banyak situasi di mana pimpinan juga tidak memperhatikan gerak-gerik dan cara anak buah melakukan pekerjaan sehingga yang berprestasi tidak diapresiasi, permasalahan tidak cepat diselesaikan, bahkan kepercayaan pun bisa luntur. Demikian banyaknya gejala kurang perhatian di sekitar kita, sehingga akhirnya kita sendiri cenderung memaklumi hal ini.

Dalam sebuah perusahaan, gejala tidak menaruh perhatian terlihat dari tidak terbiasanya orang membaca data dan menginterpretasikannya baik-baik, sebelum berkomentar. Sebagai akibat, perusahaan ini kehilangan kultur "pendalaman" dan riset, banyak komunikasi tidak menyentuh pokok persoalan utama, dan seringkali keputusan diambil dengan meraba-raba, dan atau bahkan tanpa dasar sama sekali.

Banyak alasan kita untuk tidak serius memberi perhatian atau mengupayakan pemahaman terhadap suatu isu, salah satunya adalah tidak adanya cukup waktu untuk membaca, memahami, dan menganalisa suatu gejala. Padahal, Albert Einstein mengungkapkan: “We cannot work to improve something we do not understand. We first need to understand what makes us tick”.

Bayangkan bila kita menjadikan sikap tidak terbiasa memberi perhatian sebagai suatu kebiasaan, betapa banyak kesempatan pengembangan yang hilang, betapa “kering”-nya emosi kita, dan betapa dangkalnya pemikiran bahkan kehidupan kita. Apa jadinya masyarakat dan kehidupan bila kebiasaan tidak memberi perhatian ini kita suburkan.

Bertanya vs mempertanyakan
Banyak orang yang cukup berpendidikan, bahkan menyandang  gelar S2 atau S3 yang tampak tidak menggunakan daya pikirnya dengan optimal. Hal ini sering terlihat dari tidak kuatnya mereka dalam menjelaskan gejala, lemahnya individu ini dalam menggunakan latarbelakang pendidikan, pengalaman atau pengetahuannya, untuk menjelaskan dan mengkaitkan gejala baru dengan gejala yang baru dilihat dan dibacanya.

Dalam debat atau diskusi di media, kita pun kerap melihat jurnalis, panelis, atau pakar yang lebih banyak “mempertanyakan” sesuatu, daripada betul-betul “bertanya” untuk menambah pemahamannya. Saat lawan bicara menjelaskan atau mempresentasikan sesuatu, ungkapan mempertanyakan yang biasa kita dengar adalah: “Apakah data ini valid?”. “Bukankah kebiasaannya tidak seperti ini?”.

Dialog atau konversasi yang sifatnya hanya mengetes, mengevaluasi, dan memberi penilaian membuat isi pikiran kita terkuras. Kita bisa kehilangan kesempatan menambah wawasan, bila setiap informasi baru atau berbeda kita mentahkan dengan asumsi, penilaian yang sudah berakar atau usang.

Kita perlu memberi perhatian dan mengecek, apakah pertanyaan yang kita ajukan betul-betul untuk tahu lebih jauh dan berusaha untuk memahami dan menangkap esensi dari informasi yang disampaikan, misalnya: “Apa alasan atau latar belakangnya?, “Mengapa sampai Anda mengambil kesimpulan itu?”. Bila kita tidak membuka pikiran dan bersungguh-sungguh untuk menambah pemahaman, kita ujung-ujungnya hanya menjadi orang yang sok tahu, bahkan keras kepala.

Banyak orang juga tidak menyadari bahwa kegiatan mengambil kesimpulan, menentukan mana yang lebih penting dan memperbaiki pemahaman membutuhkan klarifikasi dan konfirmasi dari teman bicaranya, tidak bisa dia lakukan secara sendirian dan egois. Kita harus sadar bahwa walaupun kita sudah dewasa, kita tetap harus memperbaharui dan mengasah pikiran kita. Kita pun perlu membicarakan apa yang kita tangkap dan memperhatikan agar kita sadar bila terjadi beda persepsi. Dengan masuknya pemahaman secara benar, kita bisa mensintesakan pengetahuan baru dengan yang lama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com