Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/07/2012, 10:01 WIB

KOMPAS.com - Seorang perempuan berusia sekitar 20 tahun dengan baju hitam dan chitenje bermotif bunga yang terlihat kumal sedang berada di ruang konsultasi. Di pangkuannya, seorang bayi tengah tidur. Dia menyerahkan sebuah buku oranye dengan sampul yang sudah sobek padaku. Berbeda dengan Indonesia, di sini di Malawi, pasien menyimpan rekam medis mereka sendiri – sebuah buku kecil yang kami sebut “paspor kesehatan”. Catatan di lembaran kertas kusam dan kotor itu memperlihatkan bahwa sudah lama sekali ia tidak datang memeriksakan kesehatan di pusat layanan kami.

Sudah dua hari ia demam dan mengalami nyeri perut, baru kemudian memutuskan untuk datang ke pusat layanan kesehatan yang kami buka. Namun ada hal lain yang menarik perhatianku – sebuah tanda berbentuk oval dengan dua garis horizontal yang tercetak di halaman depan paspor kesehatannya. 

Dia positif terjangkit HIV..

Tak ada data perawatan maupun petunjuk kalau ia menjalani pengobatan lanjutan apapun di buku kesehatannya. Kecuali satu tulisan tangan keriting yang dibuat hampir 2 tahun yang lalu ketika dia terdeteksi terjangkit virus HIV. Aku menyimpulkan kalau ia merupakan salah satu pasien yang tidak melakukan pemeriksaan lanjutan atau pasien yang berhenti datang ke pusat kesehatan untuk mendapatkan pengobatan HIV. “A Mai, kemana saja selama selama ini?” tanyaku penasaran. Ternyata ia menyusul suaminya yang tinggal di perbatasan antara Malawi dan Mozambik.  Kini, ia akhirnya kembali ke pusat kesehatan untuk mendapatkan pengobatan atas nyeri dan demamnya yang tak kunjung reda.

Ketika aku memeriksa kondisinya dan berbicara dengannya, beberapa kali kudengar ia terbatuk. Dari rekam medisnya kuketahui bahwa berat badannya turun 10 kilogram sejak terakhir kali ia datang berkonsultasi. Aku berencananya akan memulai terapi antiretroviral (ARV) padanya.

Sementara aku menulis instruksi di paspor kesehatannya, ia mulai menyusui bayinya yang merengek. Dia membuka chitenje yang membungkus tubuh bayinya dan aku begitu terkejut dengan apa yang kulihat. Tubuh bayi itu kurus kering. Usianya mungkin belum genap satu tahun. Namun yang kulihat hanyalah kulit pembalut tulang. Tangan kecilnya yang lemah mencoba berpegangan pada ibunya. Wajahnya yang kurus dan kulitnya yang kering dan keriput menandakan kalau ia sangat kekurangan gizi. Ibunya tidak sadar dengan kondisi bayinya yang kritis. Aku tak tahu harus bagaimana.  Aku merasa iba dan kasihan melihat mereka berdua.

Aku menyarankan agar bayinya juga dites HIV dengan menggunakan peralatan diagnostik cepat dan pemeriksaan lanjutan lainnya. 15 belas menit kemudian, sama seperti ibunya, di buku paspor kesehatan bayi itu pun tercantum sebuah tanda oval dengan dua garis horizontal. Dia, bayi kecil itu, juga terinfeksi HIV..

Aku memutuskan mengirim bayi itu ke rumah sakit distrik untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Sayangnya kendaraan untuk membawanya ke rumah sakit baru akan datang besok. Mereka terpaksa harus menunggu semalaman..

Esoknya, pagi hari berjalan seperti biasa. Laporan serah-terima dilaksanakan di sebuah bilik kecil di bangsal bersalin. Asisten medis yang bertugas pada malam tadi melaporkan bahwa ada seorang pasien yang meninggal pagi ini. Aku terdiam.  Otakku bergerak dengan cepat, memikirkan segala kemungkinan, mencoba menebak siapa yang meninggal di antara 20 orang pasien yang dirawat di bangsal.

“Apakah yang meninggal itu seorang bayi?” tanyaku, berharap ia akan menjawab tidak. “Ya, bayi dari Ibu HIV positif  kemarin yang hari ini mau kita rujuk ke rumah sakit distrik.” Saat itu, aku mengutuk diriku sendiri yang telah menebak dengan benar..

Ya, bayi itu meninggal subuh tadi..seketika kurasakan hatiku terasa perih...

Di pusat layanan kesehatan ini, kami tidak memiliki ruangan khusus untuk menempatkan pasien yang meninggal. Ketika seseorang meninggal, biasanya pasien-pasien lain akan dengan suka rela memberikan ruang di bangsal untuk keluarga dan jenazah.  Pasien lainnya akan pindah untuk sementara waktu ke ruang tunggu pusat kesehatan sampai jenazah dibawa pulang. Namun, pagi ini, aku tak melihat seorang pasien pun yang berbaring di ruang tunggu.

Ibu itu rupanya telah membawa bayinya pergi sebelum fajar. Intuisiku mengatakan bahwa ia dan suaminya tak akan pernah kembali lagi ke pusat layanan kesehatan ini..

Hari ini, aku merasa kehilangan mereka semua –satu keluarga.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com