Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/01/2013, 14:25 WIB

KOMPAS.com - Suara ketukan pintu yang terdengar keras di rumah dinas membuyarkan konsentrasi ibadah shalat Maghrib saya kala itu.

"Dok…tolong pasien perdarahan gawat," teriak petugas Puskesmas pada rakaat kedua.

Saya pun segera menyelesaikan raka'at sisa, dan meluncur ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas Tosari.

Benar saja, seorang wanita usia paruh baya sudah terbaring tidak berdaya dengan darah berlumuran di wajahnya. Bahkan lantai IGD sudah bersimbah darah. Kali ini, kasusnya bukan karena kecelakaan. Saya sempat diam dan terkejut memadangi wajah wanita tersebut.

Lho bukannya ini ibu yang tadi siang?”, tanya saya ingin memastikan.

Dan ternyata benar. Ibu Mawar, sebut saja begitu, memang pasien yang tadi siang baik-baik saja. Ia datang berobat ke Puskesmas hanya karena mengeluh perutnya sakit dan memang jadwalnya suntik KB. Namun, karena mencurigai berat badannya yang makin menurun dan bayinya pernah diobati Tuberkulosis (TB), maka kami memeriksa dahaknya dan ternyata hasilnya positif. Ya…Ibu Mawar menderita TB yang lebih dikenal masyarakat awam sebagai flek paru-paru.

TB mengancam jiwa

Ibu Mawar datang dengan batuk darah hebat, sangat hebat malah untuk fenomena sebuah batuk darah. Saya beserta tim bahkan harus langsung melakukan pijat jantung karena nadinya nyaris tak teraba. Tidak tanggung-tanggung, selama dilakukan pertolongan, darah masih saja mengucur deras dari hidung dan mulut pasien yang sudah tidak sadarkan diri. Jumlahnya pun fantastis hingga satu liter darah merah segar tidak henti mengalir.

Selain pijat jantung, pertolongan melalui obat-obatan kegawatdaruratan bahkan hingga enam botol infus ukuran setengah liter pun diberikan. Sayang, masih belum mampu membuat nadina teraba kuat. Hingga akhirnya pertolongan maksimal selama dua jam belum mampu menyelamatkan nyawanya.

Sebegitu bahaya kah TB hingga berujung pada kematian? Iya! Bakteri TB yang tidak segera diobati akan terus bersemayam di dalam paru-paru manusia hingga akhirnya hanya menunggu waktu saja. Mycobacterium tubercuosis akan menggerogoti paru-paru hingga dapat menyebar ke bagian lain seperti tulang (Lihat kisah TBC Tulang Si Rendi di Kumuhnya Jakarta).

Ketika batuk terlalu keras, maka pembuluh darah yang mulai rapuh akibat serangan bakteri TB di paru-paru akan pecah. Jika pembuluh darah di saluran napas besar yang pecah, maka sangat membahayakan. Perdarahan hebat akan terjadi mirip seperti muntah darah. Perdarahan merah segar tanpa bercampur nasi merupakan ciri khas perdarahan dari saluran napas. Ibu Mawar salah satu korbannya. Sama seperti mimisan dimana permbuluh darah di hidung pecah dan terus mengalir deras, pecahnya pembuluh darah di saluran napas akan begitu pula.

Keluarnya darah berlebihan dari dalam tubuh akan membuat keseimbangan cairan di dalam tubuh goyang. Jika darah yang keluar lebih dari satu liter, maka tubuh akan drop hingga tidak sadarkan diri. Hal ini tentunya akan mengganggu kerja jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Jika kehilangan banyak darah maka darah yang masuk ke berbagai organ tubuh pun berkurang. Kematian organ-organ tubuhpun terjadi secara cepat hanya karena hal sepele, batuk darah.

TB dapat diobati

Kasus yang menimpa Ibu Mawar ini terjadi ketika saya mengabdi sebagai Pencerah Nusantara di Desa Tosari, lereng Bromo. Harusnya TB tidak sampai menyebabkan kematian jika dapat diketahui lebih awal dan diobati. Hal ini jelas terlihat dari anak ketiga Ibu Mawar yang saat ini berusia dua tahun dan pernah menjalani pengobatan TB. Jika ada satu anak kecil ketahuan menderita TB, artinya ada orang dewasa di sekitarnya yang menjadi sumber penularan.

Untuk balita, biasanya ibu akan ditanyakan terlebih dahulu karena berpeluang menjadi sumber penularan. Sayangnya, disini terputus informasi sehingga Ibu Mawar tidak pernah tahu bahwa dirinya menderita TB sama seperti putri bungsunya. Padahal, setiap harinya ia menderita batuk namun tidak pernah berobat ke tenaga kesehatan lantaran menganggap dirinya sehat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com