Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/03/2013, 17:54 WIB

KOMPAS.com - Kejang seringkali salah diartikan sebagai gejala epilepsi. Padahal, tidak semua kejang merupakan manifestasi klinis dari penyakit yang sering disebut ayan ini. Menurut dokter spesialis saraf Departemen Neurologi Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Suryani Gunadharma, masih banyak ditemui kesalahan diagnosa untuk penyakit epilepsi.

"Hal ini mengakibatkan, orang yang sebenarnya bukan penyandang epilepsi menerima pengobatan epilepsi, sebaliknya penyandang epilepsi malah tidak diobati," tutur Suryani dalam acara World Purple Day 2013 dengan tema 'Mari Peduli Epilepsi!' Rabu (20/3/2013) di Jakarta.

Kesalahan diagnosa ini juga berdampak sulitnya menentukan angka prevalensi penyakit epilepsi di Indonesia, bahkan di dunia. Namun menurut data Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi di Indonesia (PERPEI), diperkirakan epilepsi menyerang sekitar 1 persen penduduk dunia. Di Indonesia sendiri diperkirakan penyandang epilepsi mencapai 1-2 juta jiwa.

Epilepsi merupakan penyakit yang disebabkan adanya muatan listrik berlebihan di otak karena terjadinya terlalu aktifnya otak mengirimkan sinyal. Biasanya keadaan ini disebut dengan istilah bangkitan. Namun bangkitan yang terjadi hanya sekali bukanlah epilepsi.

"Baru bisa dikatakan epilepsi jika bangkitan memiliki tendensi untuk terjadi berulang," ujar Suryani.

Bangkitan dapat menimbulkan manifestasi klinis, salah satunya kejang. Namun kejang bukan merupakan satu-satunya manifestasi. "Manifestasi klinis epilepsi tergantung dari bagian otak mana yang terkena bangkitan," jelasnya.

Suryani menjelaskan, jika yang terkena bangkitan adalah lobus frontal, maka manifestasinya meliputi gangguan memori, emosi, konsentrasi, gerakan, keputusan. Sedangkan pada lobus parietal, berupa gangguan rasa yang mengakibatkan penyandang merasa kebas di bagian badan tertentu. Pada lobus oksipital, manfestasinya akan mengakibatkan gangguan penglihatan.

Pada lobus temporal, penyandang epilepsi mengalami gangguan mendengar, memori dan tingkah laku. "Jika bangkitan terjadi pada lobus temporal maka penyandang epilepsi memiliki khayalan-khayalan yang tinggi seperti pergi ke suatu tempat yang baru atau bertemu orang-orang yang sudah meninggal," tutur Suryani.

Bangkitan dapat terjadi di otak secara parsial, namun ada juga yang keseluruhan. Bangkitan pada keseluruhan otak inilah yang biasanya menimbulkan kejang hingga tak sadarkan diri.

Namun ada pula gejala penyakit lain yang mirip dengan epilepsi. Oleh karena itu, kata Suryani, penting untuk melakukan pemeriksaan yang menyeluruh untuk memastikan diagnosa yang tepat yang menunjang pengobatan. "Dengan pengobatan yang tepat, epilepsi dapat dikontrol," pungkasnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com