Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sanksi Bagi Tenaga Kesehatan yang Tak Dukung ASI

Kompas.com - 13/06/2013, 19:38 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com -
Pemerintah saat ini masih menyusun peraturan yang membahas sanksi bagi tenaga kesehatan yang tidak memberikan dukungan bagi keberhasilan ASI Eksklusif. Peratutan Menteri Kesehatan (Permenkes) tentang hal ini diharapkan akan selesai pada tahun ini.

"Saat ini kita masih membahas permenkes tentang pengaturan dan sanksi pemberian sufor bagi tenaga layanan kesehatan. Seharusnya bisa selesai tahun ini," kata Subdit Bina Konsumsi Makanan Direktorat Bina Gizi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Asep Adam Mutaqin,  pada media gathering Pemahaman Tenaga Kesehatan Mengenai Kebijakan Menyusui di Indonesia di Jakarta, Kamis (13/6/2013).

Tentunya, bukan tanpa alasan permenkes pengaturan sufor harus segera diselesaikan. Asep mengatakan, beberapa tenaga kesehatan masih ada yang menyarankan para ibu untuk memberi sufor pada anaknya yang baru lahir. Padahal, tenaga kesehatan sudah mengetahui kebaikan ASI. Permenkes ini digunakan untuk mendisiplinkan perilaku tersebut dan mengatur konsumsi sufor pada bayi.

"Nantinya pengaturan ini juga untuk mengatur produsen sufor supaya tetap mendukung ASI," kata Asep.

Permenkes ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) nomor 33 tahun 2012 yang mengatur tentang ASI Eksklusif.  Dalam PP ini diatur apa yang dimaksud ASI eksklusif, keharusan dan bentuk dukungan masyarakat, serta penggunaan susu formula.  PP ini memerlukan Permenkes supaya dapat diterapkan di masyarakat luas.

Sedikitnya diperlukan empat permenkes yang mencakup di dalamnya tentang donor ASI, dukungan lingkungan kerja bagi ibu yang menyusui, pengaturan pemberian susu formula (sufor), dan sanksi administrasi bagi tenaga layanan kesehatan yang memberikan sufor pada bayi berumur di bawah 6 bulan.

Dari empat yang diperlukan, baru satu permenkes yang bisa diterapkan, yaitu pengaturan lingkungan kerja dalam pemberian ASI. Bentuk dukungan adalah penyediaan ruang khusus menyusui bagi pekerja yang memberi ASI bagi buah hatinya.

Asep berpendapat PP sebetulnya sudah bisa mengatur konsumsi sufor walau belum sempurna. Hal ini dikarenakan tenaga layanan kesehatan yang terbukti memberikan sufor pada bayi berusia di bawah 6 bulan, mendapat sangsi bertingkat. Hukuman dimulai dari lisan, tertulis, hingga administratif.

Asep mengatakan, moral tenaga layanan kesehatan menjadi penentu keberhasilan peraturan. Tenaga kesehatan yang tahu dampak negatif sufor akan mendorong ibu melahirkan supaya memberikan ASI. Hal sebaliknya terjadi pada tenaga layanan kesehatan yang tidak peduli efek negatif pemberian sufor. Kota besar rawan kampanye sufor Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan menjadi lahan subur kampanye sufor.

Hal ini dikarenakan banyaknya penduduk di kota-kota tersebut. Kesibukan yang menuntut masyarakat bergaya hidup serba praktis, tak mungkin dilewatkan para produsen sufor. Masyarakat kota besar juga memperoleh limpahan informasi, tentang kebaikan ASI dan sufor. Berbagai info ini tak jarang membuat masyarakat bingung. "Masyarakat harus pandai memilah, mana yang sebaiknya diikuti dan tidak," kata Asep.

Masyarakat kota besar, menurut Asep, harus sadar sepenuhnya manfaat ASI. Berbagai manfaat ASI, sesungguhnya tidak bisa digantikan sufor. ASI harus diberikan pada 6 bulan pertama kehidupan buah hati. Pemberian ASI akan mendukung tumbuh kembang anak secara optimal. Nutrisi yang diberikan terbukti cukup pada setiap bayi. Asep berharap, pengetahuan bisa memotivasi masyarakat kota besar untuk memberikan ASI pada 6 bulan pertama kehidupan anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com