Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/07/2013, 09:43 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com — Kondisi alam menjadikan Indonesia merupakan negara yang rentan mengalami gempa. Bahkan pada tahun 2012, Indonesia mengalami 363 kejadian gempa dengan kekuatan paling besar 8,3 skala Richter (SR).

Efek gempa bervariasi tergantung pada kedekatan wilayah dengan pusat gempa dan besarnya kekuatan gempa. Gempa kekuatan ringan mungkin tidak mengakibatkan kerusakan. Namun, gempa berkekuatan besar bisa berakibat pada runtuhnya bangunan dan adanya korban.

Terakhir gempa berkekuatan 6,2 SR terjadi di dua kabupaten di Aceh, Selasa (2/7/2013). Dikabarkan, gempa tersebut menewaskan 22 orang dengan ratusan korban lainnya. Gempa tersebut juga merusak ratusan rumah yang berada di kedua kabupaten.

Hal tersebut yang mengharuskan adanya penanganan efektif terhadap korban gempa agar tidak menimbulkan komplikasi apabila korban masih bisa diselamatkan. Hanya, penanganan korban gempa dinilai masih belum optimal, terutama untuk pemerataannya di daerah-daerah pelosok.

"Orang yang mampu melakukan penanganan korban gempa seharusnya tersebar hingga ke daerah pelosok," ujar dr Alexander Jayadi Utama, dokter bedah dari Tim Vaskular Center Rumah Sakit Premier Bintaro, seusai Seminar Dokter Emergency Update bertajuk "Comprehensive Management of Crush Syndrome" di Tangerang Selatan, Sabtu (6/7/2013).

Alex mengatakan, selama ini penanganan korban gempa masih berpusat di kota-kota besar, belum merata ke semua wilayah. Padahal gempa bisa terjadi di daerah-daerah pelosok sehingga penanganan bisa terjadi lama lantaran menunggu layanan dari pusat datang.

Dalam kesempatan yang sama, ketua tim spesialis bedah vaskuler RS Premier Bintaro, dr Suhartono, memaparkan, meskipun selamat, korban gempa yang tertimpa reruntuhan memiliki risiko yang disebut crush injury atau cedera hempasan. Cedera tersebut memiliki komplikasi yang sangat banyak dan berhubungan dengan sistem sirkulasi.

"Karena melibatkan sistem sirkulasi, maka bisa saja yang tertimpa kakinya, tetapi efek gangguannya organ-organ lainnya seperti paru-paru, ginjal, atau otak. Padahal organ tersebut tidak ikut tertindih," papar Suhartono.

Suhartono mengatakan, runtuhan bukan hanya terjadi akibat gempa. Hal itu karena aktivitas-aktivitas berisiko tertentu seperti penambangan atau pembangunan bangunan. Oleh karenanya, penanganan crush injury pun perlu disiapkan di sekitar tempat-tempat tersebut.

"Saat ini penanganan crush injury di Indonesia secara umum sebenarnya sudah baik. Hanya, pengetahuan dan keterampilan tenaga ahlinya perlu dioptimalkan. Selain itu, harus lebih merata penyebarannya ke seluruh daerah," simpul Alex.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com