Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/09/2013, 07:04 WIB

KOMPAS.com —  Upaya pencegahan penyakit gigi dan mulut di Tanah Air dinilai belum efektif. Jumlah kasus sakit gigi dan mulut tinggi serta cenderung meningkat, terutama pada anak-anak.

Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Zaura Rini Anggraeni, Jumat (6/9), di Jakarta, mengatakan, pencegahan penyakit gigi dan mulut digalakkan sejak 1951 lewat program usaha kesehatan gigi sekolah.

”Meski sudah 60 tahun program itu dijalankan, nyatanya persoalan kesehatan gigi pada anak masih menjadi masalah besar. Padahal, gigi dan mulut adalah gerbang kesehatan tubuh. Gangguan gigi menjadi faktor risiko penyakit kronis seperti gagal ginjal, diabetes, dan gangguan jantung,” katanya dalam jumpa pers di Kementerian Kesehatan.

Menurut Zaura Rini, penyakit gigi dan mulut adalah penyakit tidak menular yang paling banyak diderita masyarakat. ”Itu mencakup 90 persen dari penyakit tidak menular di dunia. Gigi berlubang, gusi rusak, dan kanker mulut pada perokok umum terjadi,” ujarnya.

Dilihat dari kelompok usia, anak-anak usia di bawah 12 tahun paling rentan dengan penyakit gigi mulut. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007), 36,1 persen anak pada usia itu pernah menderita gigi berlubang. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), persentase itu jauh lebih besar, yaitu 76,5 persen. Artinya, 24 juta anak pernah mengalami sakit gigi dan mulut, 90 persen di antaranya berupa karies.

Jika dibiarkan, kata Zaura Rini, hal ini akan berdampak luas terhadap ekonomi dan membebani dana jaminan sosial. Sebab, layanan kesehatan gigi terbilang mahal. ”Dengan asumsi ada 16 juta kasus gigi berlubang dan biaya tambal Rp 100.000 per gigi, biaya untuk tambal dua gigi Rp 3,2 triliun,” kata Zaura Rini.

Tingginya prevalensi kasus sakit gigi dan mulut di Indonesia diyakini akibat perubahan gaya hidup. ”Banyak makanan yang dikonsumsi anak berisiko merusak gigi, misalnya camilan mengandung gula dan soda asam. Di Indonesia, behel gigi dipakai untuk aksesori. Padahal, pemakaian tidak tepat bisa memicu kerusakan email gigi dan tulang (rahang),” ujarnya.
Biaya mahal

Direktur Bina Upaya Kesehatan Dasar Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Dedi Kuswenda menyatakan, biaya kesehatan gigi masih mahal. Karena itu, tindakan edukasi dan preventif menjadi penting.

Menurut dia, pemerintah berupaya mengoptimalkan edukasi di sekolah melalui unit kesehatan sekolah. Sejumlah program seperti ”donut Irene” atau penilaian 15 faktor risiko gigi berlubang pada anak melalui kuesioner dan peranti lunak dilakukan sejak tahun 2010. Program sikat gigi dengan pasta gigi fluor tiap hari di sekolah diintegrasikan ke dalam program perilaku hidup bersih dan sehat.

Upaya dan langkah kebijakan untuk mendorong pencegahan sakit gigi mulut, ujar Dedi, akan dibahas dalam forum The 7th Asian Conference of Oral Health Promotion for School Children di Bali, 12-14 September.

Menurut Rini, acara dua tahunan yang akan dihadiri peserta dari 21 negara itu merupakan forum strategis untuk merumuskan kebijakan edukasi dan pencegahan penyakit gigi mulut secara lintas negara dan sektor. (JON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com