Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/09/2013, 14:28 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com -
Kuesioner kesehatan reproduksi adalah perisai bagi remaja. Dengan mengetahui kesehatannya sendiri, remaja diharapkan lebih bertanggung jawab dan tidak main-main dengan organ reproduksinya ketika sudah dewasa. Melalui kuesioner ini, remaja juga diharapkan sadar sejak dini untuk menjaga kesehatan, termasuk organ reproduksi.

"Penelitian WHO di 35 negara membuktikan manfaat kuesioner kesehatan reproduksi bagi remaja. Remaja di negara penelitian menunda hubungan seks terlalu dini, karena ingin menjaga kesehatan reproduksinya," kata Guru Besar Departemen Ilmu Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat UI (FKM-UI) Hadi Pratomo, Rabu (11/9/2013).

Kuesioner kesehatan reproduksi, terang Hadi, memungkinkan remaja mengidentifikasi kesehatan dirinya. Hal ini sekaligus menjadi langkah awal pendidikan seks pada remaja, yang kerap penasaran pada topik reproduksi.

"Kuesioner ini membuka apa yang selama ini dianggap tabu. Kalau tidak sekarang kapan lagi kita memberi tahu anak tentang kesehatan reproduksi? Padahal dunia sudah semakin berkembang," kata Hadi.

Melalui kuesioner ini remaja bisa tahu, apakah proses tumbuh kembang dan kesehatannya berjalan normal. Bila remaja merasa ada yang tidak normal, bisa segera bertanya pada guru, orangtua, dan tenaga layanan kesehatan terkait.

"Kuesioner ini justru menunjukkan kemajuan, pada upaya menjaga kesehatan reproduksi. Intervensi ke depan bisa diserahkan pada setiap daerah, terkait upaya promotif, preventif, ataupun kuratif terutama di tingkat layanan dasar," kata Hadi.

Ia juga mengingatkan pemerintah daerah untuk selalu melakukan monitoring dan evaluasi, usai pengisian kuesioner. Terkait adanya kehebohan pada pengisian kuesioner, Hadi berpendapat, adanya kesalahan dalam sosialisasi dan implementasi. Pada beberapa daerah mungkin memang harus dilakukan sosialisasi ulang.

Sosialisasi ini harus melibatkan guru, orangtua, tenaga layanan kesehatan, ditambah pemuka agama. Saat sosialisasi diharapkan seluruh elemen mengerti maksud dan tujuan kuesioner, sehingga tidak meragukan manfaat maupun kerahasiaannya. Sedangkan pada tingkat implementasi, Hadi menilai, seharusnya kuesioner tidak perlu dibawa pulang.

"Kuesioner ini diisi di sekolah dan langsung dikumpulkan. Data ini langsung disimpan guru dan tenaga layanan kesehatan, serta tidak boleh disebarkan" kata Hadi.

Namun bukan berarti orangtua tidak dilibatkan. Orangtua harus tahu manfaat, tujuan, dan pelaksanaan pengisian kuesioner. Sehingga orangtua tidak kaget dan ragu pada pelaksaan pangisian survei. Pelaksanaan pengisian kuesioner yang dilakukan di sekolah, menurut Hadi sudah tepat.

"Ingat sekolah adalah tempat anak memperoleh pendidikan, termasuk tentang reproduksi. Apalagi di sekolah ada Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), yang menjadi ujung tombak penjagaan kesehatan siswa," kata Hadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com