Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/10/2013, 08:58 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com — Penggunaan botol susu ternyata dapat meningkatkan kemungkinan bayi mengalami gangguan perut dan pencernaan. Gangguan yang bersifat umum tapi serius ini dapat mengakibatkan bayi mudah mengalami muntah.

Penelitian terbaru yang dimuat dalam jurnal JAMA Pediatrics menemukan, bayi yang minum dari botol sedikitnya berisiko dua kali lebih tinggi menderita kondisi yang disebut dengan hypertrophic pyloric stenosis (HPS). Kemungkinan ini lebih besar dibanding bayi yang menyedot payudara. 

Selain minum dari botol, peningkatan risiko menderita HPS juga dapat dipengaruhi faktor usia ibu saat melahirkan. Kesimpulan ini adalah hasil kajian yang dilakukan dokter bedah, Dr Jarod McAteer, di University of Washington, Seattle, bersama dengan timnya.

HPS dapat terjadi karena penebalan lapisan otot halus di pylorus, yaitu area di antara perut dan usus halus. Kondisi HPS terjadi pada sekitar 2 dari seribu bayi di Amerika Serikat. Umumnya, bayi yang menderita HPS berusia 3-5 minggu. Kondisi ini kebanyakan dikarenakan gangguan pada usus selama masa bayi. Tindakan operasi diperlukan untuk menghilangkan gangguan ini.

Menurut Direktur Medis dari Children's Safety Center di Oregon Health & Science University's Doernbecher Children's Hospital, Dr Ben Hoffman, HPS adalah kondisi umum yang sejak lama menjadi perhatian para dokter anak maupun dokter bedah anak. Namun, sejauh ini belum dapat diketahui apa penyebab timbulnya HPS.

“Hubungan antara minum menggunakan botol dan HPS sangatlah menarik,” ujarnya.

Dalam penelitian ini Jarod McAteer bersama timnya melibatkan bayi yang lahir antara tahun 2003-2009. Penelitian ini mencakup 714 bayi yang didiagnosis rumah sakit mengalami HPS. Para peneliti menggunakan sertifikat kelahiran untuk memastikan keabsahan dan merekam status pemberian ASI tiap bayi.

Periset menemukan, angka kejadian HPS di Washington menurun dari 14 per 10 ribu kelahiran pada 2003 menjadi 9 per 10 ribu kelahiran pada 2009. Hasil ini disertai peningkatan penggunaan payudara untuk memberi minum bayi, dari 80 persen pada 2003 menjadi 94 persen pada 2009.

Hasil lainnya mengungkapkan, 19,5 persen bayi yang minum menggunakan botol menderita HPS. Sedangkan pada bayi yang minum langsung dari payudara, angka ini hanya mencapai 9 persen.

Riset ini, kata McAteer, juga menggali lebih dalam untuk mengetahui faktor lain yang menyebabkan HPS. Hasilnya, jenis kelamin bayi dan ibu yang merokok bukan menjadi faktor risiko. Usia ibu lebih berperan meningkatkan risiko bayi menderita HPS.

Anak yang lahir dari ibu berusia kurang dari 20 tahun yang minum dari botol berisiko lebih kecil menderita HPS. Namun, risiko ini meningkat 2-3 kali lebih besar pada ibu yang berusia 20-35 tahun bila anaknya minum dari botol. Risiko paling besar dialami bayi yang beribu dengan usia lebih dari 35 tahun, yaitu 5-6 kali jika minum dari botol.

Hasil ini membuka kemungkinan peran hormon dalam peningkatan risiko HPS. McAteer mencatat, beberapa susu formula pada bayi berbahan dasar kedelai. Selain itu, botol minum pada bayi mengandung bahan kimia Bisphenol A (BPA). Kedelai dan BPA memengaruhi tingkat hormon estrogen pada tubuh manusia.

“Mungkin ada interaksi antara usia ibu dan level estrogen, yang memengaruhi kekerasan otot pyloric. Namun pendapat ini masih mengundang banyak pertanyaan,” kata McAteer.

Namun yang pasti, data riset mendukung pendapat minum dari payudara lebih baik dibanding dari botol. McAteer menjelaskan, hasil studi menambah bukti kenapa minum dari payudara lebih disarankan untuk bayi baru lahir. Para dokter, kata McAteer, harus mempertimbangkan hal ini sebagai faktor penting yang memengaruhi konseling pada pasien. Orangtua juga bisa menjadikan hasil riset sebagai pertimbangan, apakah akan memberi anak minum langsung dari payudara atau botol.

Kendati begitu Hoffman memperingatkan bahwa riset ini masih didasarkan atas studi statistik. “Riset ini sangat baik, namun patut diingat hasil yang didapat bukanlah sebab akibat. Masih diperlukan banyak riset dari berbagai sudut pandang, untuk mengerti dan mengetahui jawabannya,” kata Hoffman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com