Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/12/2013, 17:05 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com - Walau memberi banyak manfaat, pada kenyatannya tidak mudah mengenalkan ragam makanan bergizi seperti sayuran dan buah kepada anak. Namun ini jelas berbeda ketika mengenalkan berbagai jenis makanan ringan dan camilan yang umumnya sangat disukai anak.

Padahal, kandungan kandungan gizi dalam camilan belum tentu cukup untuk tumbuh kembangnya. Belum lagi, kandungan garam dan gula yang tingga bisa menyebabkan adiksi. Namun memisahkan anak dengan camilan, ternyata tidak selalu mudah.

Menyikapi kondisi ini, Kementerian Kesehatan RI memperkenalkan Taburia, yaitu bubuk dengan 16 kandungan vitamin dan mineral. Taburia ini sudah diujicobakan di 6 propinsi pada 2010 lalu. Uji coba dilakukan di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

"Walau tidak ada data detail, namun penggunaan Taburia bisa mengangkat status gizi anak usia 7 bulan-5 tahun di propinsi tersebut. Bubuk ini baru akan diproduksi massal pada 2014,” kata Direktur Bina Gizi Kementerian Kesehatan RI, Dedy Izwardi, pada Kamis (5/12/2013).

Bubuk Taburia, jelas Deddy, merupakan hasil penelitian Pusat Teknologi Terapan dan Epidemiologi Klinik Kementerian Kesehatan RI. Penggunaan bubuk ini bertujuan memperbaiki status gizi anak, terutama gizi mikro, yang sulit didapat bila tidak mengkonsumsi buah dan sayur. Unsur gizi dalam Taburia adalah Vitamin A, B1, B2, B3, B6, B12, D3, E, K, C, asam folat, asam pantotenat, yodium, besi (Fe), seng (Zn), dan selenium (Se)                   

“Penggunaan Taburia bertujuan meningkatkan nafsu makan anak, terutama pada buah dan sayur. Sehingga walau anak suka makan camilan, kebutuhan gizinya masih bisa tercukupi,” kata Deddy. Taburia bisa diperoleh di layanan kesehatan primer seperti Puskesmas dan Posyandu.

Penerapan Taburia diharapkan bisa mengurangi jumlah anak Indonesia yang bergizi buruk dan pendek. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan, anak dengan gizi buruk meningkat menjadi 5,7 BB/U setelah pada 2010 hanya 4,9 BB/U. Hal yang sama terjadi pada anak dengan status giz kurang meningkat menjadi 13,0 BB/U setelah sebelumnya hanya 13,9 BB/U.

Anak pendek juga mengalami peningkatan di Indonesia. Setelah pada Riskesdas 2010 jumlah anak pendek adalah 17,1 TB/U, Riskedas 2013 menunjukkan adanya peningkatan menjadi 19,2 TB/U. Sedangkan jumlah anak sangat pendek mengalami penurunan, dari 18,5 TB/U pada Riskesdas 2010 menjadi 18,0 TB/U. Satuan BB/U dan TB/U adalah ukuran indeks anthropometry untuk mengukur berat dan tinggi badan berdasarkan tingkatan usia.

Taburia, kata Deddy, diekstrak dari berbagai jenis sayur, buah, dan pangan lain yang menunjang tumbuh kembang balita. Dengan bahan ini, maka Taburia tidak mengubah rasa, aroma, bentuk makanan dan tidak menimbulkan kecanduan. Taburia juga tidak mengubah kebiasaan makan balita sehari-hari.

Penggunaan Taburia cukup sederhana, yaitu dengan ditaburkan pada makanan balita. Taburia sebaiknya tidak ditaburkan pada minuman seperti air, teh, atau susu karena akan menggumpal dan tidak larut. Taburia tidak boleh dicampurkan pada makanan dewasa, karena kandungan gizi di dalamnya diperuntukkan khusus balita.

“Dengan adanya Taburia pada 2014, diharapkan status gizi anak Indonesia menjadi lebih baik. Terutama daerah dengan status gizi buruk, misalnya NTT,” kata Deddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com