Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/12/2013, 09:57 WIB


JAKARTA, KOMPAS —  Organisasi Kerja Sama Islam Bebas Tembakau (Tobacco Free Organisation of Islamic Cooperation) menagih komitmen Indonesia untuk mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau. Aksesi itu dikaitkan dengan perlindungan masyarakat.

”Indonesia satu-satunya negara penting dunia yang belum mengaksesi FCTC,” kata Direktur Jenderal Pusat Penelitian dan Pelatihan Statistik, Ekonomi, dan Sosial untuk Negara-negara Islam (SESRIC) Savas Alpay di Jakarta, Kamis (5/12/2013). Dari 57 negara anggota OKI, hanya Indonesia dan Somalia yang belum menandatangani Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC).

Somalia belum mengaksesi karena pemerintahannya belum stabil akibat konflik. Adapun Indonesia, yang mulai tahun ini hingga 2015 menjadi Ketua Konferensi Tingkat Menteri Kesehatan OKI, belum mengaksesi FCTC karena ragu dampaknya.

”Aksesi FCTC tidak akan mematikan industri rokok ataupun petani tembakau,” kata Savas. Turki, China, Brasil, dan India yang memiliki industri tembakau besar dengan banyak petani membuktikan. Mereka mengaksesi FCTC, tetapi produksi produk tembakaunya tumbuh.

Ketua Pusat Dukungan Pengendalian Tembakau (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Kartono Mohammad mengingatkan, Indonesia sudah dua kali menyatakan komitmen mengaksesi FCTC kepada OKI, yaitu tahun 2007 dan 2013. Namun, komitmen itu hingga kini sebatas niatan.

”Indonesia akan dipertanyakan negara-negara lain, bisa tidak memegang komitmen,” katanya.

Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, awal November lalu, bertekad Indonesia bisa mengaksesi FCTC akhir 2013. Namun, minimnya dukungan kementerian lain dan ketidaktegasan Presiden membuat rencana itu tak jelas.

Prevalensi tertinggi

Dibandingkan dengan anggota OKI lainnya, prevalensi perokok di Indonesia termasuk tertinggi, yaitu 67,4 persen untuk laki-laki dan 4,5 persen untuk perempuan. Setiap tahun, 5 juta orang di dunia meninggal akibat tembakau dan 200.000 orang di antaranya dari Indonesia. Korban meninggal akibat penyakit kanker, kardiovaskular, dan pernapasan. Sebagian besar korban adalah kelompok usia produktif yang merupakan modal pembangunan.

Savas mengingatkan, industri tembakau global menjadikan negara-negara berkembang, termasuk anggota OKI, sebagai basis pemasaran. Ruang gerak bisnis mereka di negara maju sangat dibatasi. Itu membuat derajat kesehatan masyarakat di negara berkembang sulit bersaing.

”Dalam pertarungan antara pemerintah, konsumen, dan industri tembakau, industri tembakaulah yang akan jadi pemenangnya,” ujarnya.

Konsumen rugi besar karena sudah mengeluarkan uang untuk membeli barang yang justru membuatnya sakit dan berisiko kematian. Pemerintah memang mendapat cukai dari industri tembakau, tetapi harus menanggung biaya kesehatan yang jauh lebih besar. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com