Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/01/2014, 09:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS
— Sistem Jaminan Kesehatan Nasional mensyaratkan pemeriksaan berjenjang bagi peserta. Ini menuntut perubahan paradigma berobat. Karena belum terbiasa, banyak peserta merasa sistem rujukan menyusahkan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan perlu menyiapkan masa transisi agar masyarakat siap.

”Di awal pelaksanaan JKN, BPJS Kesehatan perlu lebih fleksibel,” kata Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany di Jakarta, Selasa (7/1). Masa transisi ini bisa berlaku 3-6 bulan.

Selama masa itu, rumah sakit seharusnya bisa menerima pasien tanpa surat rujukan. Selanjutnya, keluarga pasien diminta mengurus surat rujukan. Dalam waktu bersamaan dilakukan edukasi dan sosialisasi secara masif.

Fleksibilitas aturan sistem rujukan memang akan membuat anggaran BPJS Kesehatan membengkak. Namun, itu risiko atas lemahnya sosialisasi yang dilakukan BPJS Kesehatan. Fleksibilitas ini untuk menjaga citra dan harapan masyarakat terhadap JKN agar sistem yang baik ini tetap berjalan.

Hasbullah menyarankan BPJS Kesehatan segera menambah jumlah personel yang ditempatkan di rumah sakit maupun tempat pendaftaran untuk meredam kebingungan masyarakat. Mereka harus dibekali kemampuan untuk menerjemahkan kebijakan besar yang kompleks menjadi sederhana serta mudah dipahami pasien dan keluarga, tenaga kesehatan, maupun rumah sakit.

Saran serupa dikatakan pendiri Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah Mada, Laksono Trisnantoro. Masa transisi bukan berarti membelokkan aturan yang dirancang untuk memperbaiki sistem kesehatan, tetapi agar tidak ada peserta yang dirugikan.

Sistem rujukan merupakan koreksi atas pola berobat masyarakat yang enggan ke fasilitas kesehatan dasar dan langsung berobat ke rumah sakit. Akibatnya, rumah sakit dengan kemampuan layanan spesialis dan subspesialis penuh pasien dengan penyakit ringan.

Dalam JKN, pengobatan berjenjang diterapkan secara ketat. Akibatnya, sebagian peserta mengeluhkan tidak dilayani rumah sakit karena tidak memiliki surat rujukan dari fasilitas kesehatan dasar.
Khawatir

Penolakan ini sebenarnya merisaukan pengelola rumah sakit, sebagaimana dilaporkan dari Jember. Para pengelola rumah sakit khawatir tidak menerima bayaran dari BPJS Kesehatan jika menerima pasien tanpa surat rujukan. Di sisi lain, rumah sakit tidak boleh menolak pasien yang datang berobat.

Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara Komisi D DPRD Jember dengan Kepala Cabang BPJS Kesehatan Jember dan Lumajang M Ismail Marzuki, Kepala Dinas Kesehatan Jember Bambang Suwartono, serta Direktur RS dr Soebandi, Direktur RS Kalisat, dan Direktur RS Balung, Selasa.

”Pasien yang datang ke rumah sakit marah jika ditolak. Sebaliknya, jika diterima, kami bisa tidak menerima bayaran,” kata Kunin, Direktur RS Kalisat.

Ismail mengatakan, dalam situasi darurat, RS bukan mitra BPJS boleh menerima pasien peserta BPJS. Setelah masa darurat diatasi, pasien dirujuk ke RS mitra BPJS. ”Rumah sakit yang menangani kami bayar,” katanya.
Lebih efisien

Ketua Komisi D DPRD Jember HM Ayub Junaidi berpendapat, menggabungkan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin ke JKN bisa lebih efisien.

Menurut Bambang Suwartono, tahun lalu penduduk yang berobat memakai surat miskin ada 5.259 orang. Jika dijadikan peserta BPJS Kesehatan, hanya perlu biaya Rp 1,2 miliar per tahun. Sebagai pembanding, tahun 2013 Pemkab Jember menganggarkan Rp 10,5 miliar untuk pengobatan penduduk miskin dan tahun 2014 Rp 13 miliar.

Dari Palembang dilaporkan. program JKN di Sumatera Selatan berlangsung di tengah sejumlah masalah teknis. Salah satunya, banyak fasilitas kesehatan belum memenuhi standar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com