Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/02/2014, 09:15 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com - Risiko kanker serviks dapat ditekan secara signifikan dengan vaksinasi Human Papilloma Virus (HPV). Sementara itu, untuk mencegah ditemukannya kanker serviks pada stadium lanjut, wanita perlu rutin melakukan deteksi dini, misalnya dengan pap smear.
 
Kemudian, lantaran vaksinasi bisa membantu mencegah kanker serviks, masih perlukah seseorang melakukan deteksi dini? Apakah lantas deteksi dini menjadi hal yang berlebihan untuk dilakukan ketika seseorang sudah melakukan vaksinasi HPV? 
 
Menurut Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Nurdadi Saleh, vaksinasi dan deteksi dini sebenarnya berbeda fungsi. Vaksinasi merupakan upaya pengurangan risiko, sementara deteksi dini adalah upaya untuk mengetahui jika ada ketidaknormalan yang menunjukkan tanda-tanda kanker di stadium yang lebih awal sehingga memperbesar peluang kesembuhan.
 
"Sekalipun sudah divaksinasi, wanita  tetap dianjurkan memeriksakan diri rutin karena ada pula risiko penyakit ginekologi lain yang belum bisa dicegah dengan vaksinasi," ungkapnya dalam sebuah diskusi kesehatan beberapa waktu lalu di Jakarta.
 
Dalam kesempatan yang sama, dokter kebidanan subspesialis onkologi Andi Darma Putra mengungkapkan, vaksinasi HPV saat ini hanyalah untuk tipe 16 dan 18. Kedua HPV tersebut diketahui sebagai penyebab 70-80 persen kanker serviks.
 
Sedangkan, lanjut Andi, 20-30 persen kanker serviks disebabkan oleh HPV tipe lain seperti 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, serta 58. Tipe HVP tersebut merupakan golongan risiko tinggi karena bisa menyebabkan kanker.
 
"Maka kalau tidak terkena kanker dari HPV tipe 16 dan 18, masih ada risiko dari HPV tipe lain, sehingga deteksi dini rutin melalui pap smear atau inspeksi visual asam asetat (IVA) tetap dianjurkan," tegasnya.
 
Selain itu ada pula teknologi self-sampling yang merupakan metode baru yang menggunakan alat khusus agar dapat digunakan sendiri di rumah, sehingga tingkat privasinya lebih tinggi. Meskipun analisisnya tetap dilakukan di laboratorium.
 
Andi menjelaskan, deteksi dini lebih baik dilakukan setiap tahun. Namun jika dalam dua tahun hasilnya baik, maka pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan tiga atau empat tahun kemudian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com