Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/03/2014, 17:05 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis

KOMPAS.com - Penderita gangguan tidur insomnia cenderung tak bisa beraktivitas dengan baik karena kurang istirahat. Meski begitu penderita gangguan tidur ini ternyata memiliki otak lebih aktif.

Hal ini terungkap dalam riset kecil di Johns Hopkins University School of Medicine. Peneliti memelajari aktivitas otak 28 responden. Sebanyak 18 responden menderita insomnia, sedangkan 10 lainnya tidur dalam keadaan normal. Tujuan riset adalah mengetahui lebih banyak tentang gangguan tidur.

Hasil riset menunjukkan penderita insomnia kronis menunjukkan kemampuan adaptasi atau plastisitas motor cortex lebih baik, dibanding yang tidur teratur. Motor cortex adalah area otak yang mengukur pergerakan. Responden dengan insomnia juga menunjukkan stimulasi neuron pada motor cortex yang lebih mudah. Hal ini mengindikasikan proses alur informasi yang selalu tinggi.   

Melalui berbagai tes, peneliti mengukur kemampuan adaptasi motor cortex tiap responden. Pada seri pertama, peneliti menggunakan elektroda dan accelerometer untuk mengukur kecepatan dan ketepatan gerakan jempol para responden.

Peneliti kemudian menggunakan transcranial magnetic stimulation (TMS), untuk mengirim gelombang elektromagnetik ke daerah motor cortex tanpa rasa sakit. Gelombang tersebut tidak membahayakan aktivitas otak. Selama proses TMS, peneliti mengawasi pergerakan jempol para responden.

Pada tahap akhir, peneliti melatih gerakan jempol tiap partisipan dengan arah berlawanan. Setelahnya, partisipan kembali melakukan TMS untuk mengetahui kemampuan adaptasi motor cortexnya. Dalam tahap ini peneliti juga mengukur kemampuan partisipan memelajari gerakan baru.

Saat ini diperkirakan, lebih dari 50 persen orang Amerika menderita insomnia. Riset ini diharapkan bisa menemukan terapi penyembuhannya.

"Responden yang menderita insomnia seperti mobil yang selalu berlari atau lampu yang terus menyala. Tiap responden memiliki faktor penyebab yang memberi pengaruh berbeda. Hal inilah yang menyebabkan insomnia sulit disembuhkan, dan memerlukan riset lebih lanjut," kata Rachel E Salas dari Johns Hopkins University School of Medicine.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com