Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/04/2014, 15:21 WIB

Alsadad Rudi Suasana di Puskesmas Tebet, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2013)

KOMPAS.com —
Setelah 100 hari sistem Jaminan Kesehatan Nasional berjalan, kualitas layanan menjadi sorotan berbagai pihak. Kendali mutu pelayanan dirasakan harus diperbaiki agar masyarakat mendapat pelayanan yang prima.

Hal itu disampaikan sejumlah pihak dalam dialog ”Mengurai Persoalan Mendasar Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional” yang diselenggarakan oleh Indonesia Hospital and Clinic Watch (INHOTCH) di Jakarta, Jumat (11/4).

Hadir dalam dialog tersebut Direktur Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fadjriadinur, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Ghazali Situmorang, Wakil Sekretaris Jenderal III Ikatan Dokter Indonesia Prasetyo Widhi, serta Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan Kementerian Kesehatan Ronald Pardede.

Fadjriadinur menyampaikan, sebaran peserta yang terdaftar pada fasilitas pelayanan kesehatan primer belum merata. Masih ada puskesmas atau klinik yang pesertanya banyak, sementara tenaga dokternya hanya satu. Ada pula puskesmas yang pesertanya sangat sedikit. Hal ini akan sangat memengaruhi kualitas layanan yang diterima peserta.

”Jangan sampai akses dibuka seluas-luasnya, tapi kualitas layanan menurun,” kata Fadjriadinur.

Idealnya, di satu pelayanan kesehatan primer seorang dokter melayani 5.000 peserta. Namun, karena berbagai hal, ada dokter yang melayani lebih dari 5.000 orang.

Solusinya, ujar Fadjriadinur, jumlah dokter di lokasi yang pesertanya banyak ditambah atau menambah jam pelayanan. Ini sangat terkait dengan pemerataan tenaga kesehatan.

Prasetyo menambahkan, dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), fasilitas pelayanan kesehatan primer mendapat kapitasi atas peserta yang terdaftar. Akan tetapi, uang tersebut masuk ke kas daerah karena puskesmas adalah milik pemerintah daerah.

”Tidak jelas kapan dana dikembalikan kepada puskesmas dan bagaimana cara membaginya,” kata Prasetyo.

Disparitas

Demikian juga rumah sakit umum daerah adalah milik pemerintah daerah dan belum berbentuk badan layanan umum (BLU). Di fasilitas pelayanan kesehatan sekunder itu, menurut Prasetyo, tarif Indonesia Case- Based Groups (INA CBG) juga dinilai terlalu rendah dan terdapat disparitas tarif antar-rumah sakit. Padahal, untuk penanganan tertentu, misalnya endoskopi yang tindakan, cara, dan alat yang digunakan sama dengan di rumah sakit yang tipenya berbeda.

Berdasarkan catatan BPJS Kesehatan, per 28 Maret 2014, total jumlah peserta BPJS Kesehatan 119,2 juta orang dari target 121,6 juta orang tahun 2014.

Jumlah pekerja bukan penerima upah yang mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan juga meningkat dari 80.000-an sehari selama Januari 2014 menjadi sekitar 150.000 orang per hari dalam empat minggu terakhir. (ADH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com