Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 04/07/2014, 17:17 WIB

KOMPAS.com - Setiap anak lahir dengan kecerdasan masing-masing, salah satunya kecerdasan berbahasa. Kecerdasan itu akan muncul dengan stimulasi lingkungan dan pola asuh yang baik. Sebaliknya, tanpa rangsangan yang tepat dari orangtua, orang terdekat, dan lingkungan sekitar, kemampuan anak dalam berbicara bisa terhambat.

Setelah hampir empat tahun menikah, pasangan Lodwyk Wakkary dan Olvyta Rumende akhirnya dikaruniai seorang anak, yang mereka beri nama Deven Wakkary.

Saat Deven berusia di bawah tiga tahun, ia diberi orangtuanya beragam cakram padat video berisi pelajaran berhitung, mengenal huruf, mengenal angka, serta mengenal warna dan bentuk dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Deven juga diberi beragam mainan digital yang diputar pada komputer dan gawai (gadget).

Hampir tiap hari, teman bermain Deven hanyalah cakram video itu dan permainan digitalnya. Ia kerap bermain sendiri di rumah. Pengasuhnya jarang sekali mengajaknya berinteraksi dan berkomunikasi.

Sementara Lodwyk atau biasa dipanggil Ody dan istrinya sibuk bekerja di luar rumah sehingga tak memiliki waktu banyak bersama Deven. ”Pulang kantor sudah malam dan badan capek. Paling anak saya kasih gim dan makanan kesukaannya biar dia tenang,” kata Ody.

Ketika Deven berusia tiga tahun, Ody baru tersadar, anaknya tak seperti anak lain. Deven belum bisa berkomunikasi dengan baik. Padahal, Deven sudah bisa berhitung 1-100 serta menyebutkan warna dan bentuk dalam bahasa Inggris. Namun, jika berbicara, yang terucap hanya satu-dua kata.

”Kalau Deven ingin minum, misalnya, ia tak bilang mau minum. Tetapi, ia memegang tangan saya, membawa saya, dan mendekatkan tangan saya ke dispenser,” ujarnya.

Ody baru menyadari bahwa ia dan istrinya telah salah menerapkan pola asuh pada anaknya. Mereka jarang mengajak berbicara atau berkomunikasi dengan anaknya. Permainan digital pada gadget dan makanan kesukaan kerap diberikan kepada anaknya agar tak rewel. Akibatnya, kemampuan berbicara anaknya menjadi terlambat.

Sindrom anak kota

Menurut Rifa Yustiyani, terapis wicara dari Klinik Liliput, Cipete, Jakarta Selatan, apa yang dialami Deven banyak dialami anak-anak lain di kota besar. ”Kami menyebutnya dengan sindrom anak kota,” ujarnya.

Mereka kebanyakan tinggal di kompleks perumahan atau apartemen dengan interaksi antartetangga yang kurang. Anak-anak itu minim stimulasi, hanya berteman gadget untuk bermain, tak banyak beraktivitas fisik, dan minim pengalaman untuk memperkaya bahasa. Akibatnya, kemampuan bicaranya kurang dan kekayaan bahasanya minim.

Kemampuan bicara, lanjut Rifa, di antaranya terkait irama dan kelancaran bicara. Adapun kemampuan bahasa berhubungan erat dengan pemahaman kata dan ekspresi.

Di Klinik Liliput, sebagian anak yang menjalani terapi adalah anak-anak yang kemampuan bahasa dan bicaranya terlambat. Ada anak yang sudah bisa berbicara bahasa Inggris, tetapi mengaku tidak paham ketika ditanya apa arti yang diucapkannya. Ada pula anak yang pemahaman bahasanya sudah bagus, tetapi sulit mengekspresikannya dalam kalimat.

Ada beragam metode yang dipakai dalam terapi wicara. Namun, memberikan terapi pada anak tak bisa hanya bergantung pada satu metode. Bahkan, untuk seorang anak bisa dilakukan berbagai cara sesuai perkembangan kemampuannya selama terapi.

Rifa menuturkan, orangtua sebenarnya bisa mendeteksi dini kemampuan bicara dan bahasa anaknya sejak umur lima bulan. Jika pada usia itu anak belum bersuara, kemungkinan terdapat gangguan pendengaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com