Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/07/2014, 18:25 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis


KOMPAS.com - Siapa yang tidak mau memiliki anak sehat dan cerdas. Tetapi, kebanyakan orangtua biasanya hanya mengharapkan buah hatinya cerdas secara akademik, padahal masih banyak aspek kecerdasan lain yang perlu dimiliki anak.

Kecerdasan bukan sekedar kemampuan akademis (IQ), tapi ada juga kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Untuk membentuk generasi bangsa yang sehat dan cerdas, ketiga aspek ini harus seimbang.

Anak yang cerdas adalah anak yang memiliki rasa ingin tahu besar serta mampu menyelesaikan masalah dengan cepat, benar, dan tuntas.

"Banyak anak-anak yang cerdas, IQ-nya sampai 150 tetapi perilakunya tidak baik, tidak punya sopan santun," kata Dr.Ahmad Suryawan, Sp.A, dalam acara media workshop “Membentuk Anak Indonesia Cerdas Berperilaku dan Berperilaku Cerdas,” beberapa waktu lalu di Jakarta.

Dokter yang akrab disapa Wawan ini mengatakan, orangtua sebaiknya tidak melupakan kecerdasan perilaku anak. Si kecil yang cerdas berperilaku akan memiliki perilaku dengan tujuan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuannya beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan situasi saat ini.

"Misalnya, kalau di rumah anak bebas lari-larian atau loncat sana, loncat sini. Tapi ketika diajak bertamu, ia tahu harus duduk tenang karena itu bukan rumahnya," kata dr.Wawan mencontohkan.

Kecerdasan dan kemampuan si kecil dalam berperilaku sejatinya dapat diprogram dan dibentuk oleh orangtua secara bertahap sejak dini.

Inggried (32), ibu dari Agastya Kayana Althaf (2 tahun 3 bulan), sejak awal bertekad menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang dan tanpa kekerasan agar putranya ini menjadi anak penuh kasih.

"Menurutku penting untuk menciptakan anak yang mudah berempati dengan lingkungannya, sayang dengan sesama, baik teman atau saudara," kata dokter dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya ini.

Selain itu di rumah ia juga menerapkan disiplin dan mengajarkan sikap tanggung jawab pada hal-hal kecil. "Aga sekarang sudah mulai mau membereskan mainannya, kalau menumpahkan sesuatu ia juga sudah tahu mengambil tisue atau lap. Aga juga mulai terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Mudah-mudahan ini jadi modal untuk hal lebih besar ke depannya," kata wanita yang tinggal di Yogyakarta ini.

Tidak instan

Mewujudkan generasi yang unggul dan berperilaku cerdas, serta cerdas berperilaku memang tidak bisa instan. Wawan mengatakan, pemahaman orangtua akan setiap tahapan tumbuh kembang anak akan menuntun orangtua mengetahui nutrisi terbaik dan stimulasi yang harus diberikan sesuai perkembangan usianya.

"Masa awal-lah yang menentukan, dan itu sudah harus dimulai sejak anak dalam kandungan," kata dokter yang menjadi Sekretaris UKK Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia ini.

Sirkuit jaringan otak anak yang akan dipergunakan untuk berperilaku dibentuk secara bertahap. Tatanan tersebut terbentuk sejak di dalam kandungan dan berkembang pesat pada tahun-tahun pertama setelah ia dilahirkan.

Oleh sebab itu sejak mengetahui dirinya hamil, seorang ibu wajib memenuhi kebutuhan zat gizi untuk bayi yang dikandungnya dan terus berlanjut sampai anak dilahirkan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com