Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/09/2014, 10:55 WIB
Dr. Andreas Prasadja, RPSGT *

Penulis


KOMPAS.com — Jika Anda menderita hipertensi, dan tekanan darah masih sulit dikontrol walau telah meminum lebih dari 3 macam obat anti-hipertensi, coba perhatikan tidur Anda. Mendengkur? Ngorok? Cukup tidur, tetapi masih mengantuk?

Sleep apnea dan hipertensi

Awal penemuan sleep apnea (henti napas saat tidur), sebenarnya diawali dari penderita hipertensi. Sekolompok peneliti menemukan adanya penderita hipertensi yang cenderung mengantuk pada siang hari, padahal jumlah tidurnya cukup. Pada waktu itu, ini dikenal sebagai gejala utama narkolepsi. Oleh karena itu, diperiksakanlah para penderita hipertensi tersebut. Bukan narkolepsi, alih-alih didapati adanya dengkuran dan henti napas saat tidur.

Sejak saat itu, pemeriksaan tidur dilengkapi dengan perekaman fungsi-fungsi jantung dan napas, selain perekaman gelombang otak, mata, dan otot. Prof Guilleminault menamai penyakit ini dengan sebutan obstructive sleep apnea.

Ngorok atau mendengkur ternyata merupakan tanda menyempitnya saluran napas saat tidur. Jalan napas bisa berulang kali tersumbat selama tidur hingga akibatkan reaksi berantai yang sebabkan peningkatan tekanan darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, stroke, kematian, dan impotensi.

Sleep apnea atau henti napas saat tidur ditandai oleh kebiasaan ngorok saat tidur. Namun, orang yang mendengkur belum tentu menderita sleep apnea, lho. Ia harus diperiksakan dahulu untuk membedakannya.

Sayangnya, hubungan hipertensi dan dengkur seolah tenggelam oleh populernya temuan baru bahwa mendengkur atau sleep apnea sangat berbahaya. Baru sekitar 30 tahun yang lalu, Kales dan kawan-kawan menuliskan temuan mereka pada jurnal kedokteran terkemuka, Lancet. Dalam penelitian tersebut disebutkan adanya hubungan erat antara hipertensi dan sleep apnea yang dibiarkan tanpa perawatan. Persisnya, 30 persen penderita hipertensi mengalami henti napas saat tidur.

Selanjutnya, sekelompok peneliti asal Spanyol memberikan data bahwa penderita sleep apnea yang dirawat menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP) mengalami penurunan tekanan darah yang signifikan. Semakin berat dengkuran, semakin parah sleep apnea yang diderita, dan semakin baik penggunaan CPAP-nya, akan semakin baik pula tekanan darahnya.

Penelitian

Penelitian yang diterbitkan pada Journal of Clinical Sleep Medicine bulan Agustus 2014 menunjukkan bahwa tingkat keparahan sleep apnea berhubungan erat dengan peningkatan tekanan darah yang sulit dikontrol.

Walau penderita hipertensi sudah mengonsumsi lebih dari tiga macam obat anti-hipertensi, tekanan darahnya masih tetap sulit dikontrol. Hipertensi yang diderita seolah membandel. Kondisi yang sering disebut sebagai resistant hypertension ini berkaian erat dengan derajat keparahan sleep apnea.

Pada penelitian tersebut, penderita sleep apnea sedang (AHI/henti napas 15-30 per jam) dibandingkan dengan yang berat (AHI/henti napas >30 per jam). Hasilnya, 95 persen penderita sleep apnea berat kemungkinan menderita hipertensi walau sudah minum lebih dari tiga macam obat anti-hipertensi.

Kesimpulan

Para ahli berpendapat, penanganan hipertensi, terutama yang telah menjalani pengobatan agresif, harus menyertakan kemungkinan adanya sleep apnea ataudengkuran. Artikel pada Journal of American Medical Association tahun 2013 menunjukkan bahwa perawatan sleep apnea dengan CPAP selama 12 minggu akan menurunkan tekanan darah rata-rata harian 3 mmHg. Walau tampak kecil, angka 3 mmHg bermakna besar untuk menurunkan risiko penyakit-penyakit jantung dan pembuluh darah lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com