Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/12/2014, 09:00 WIB
Lusia Kus Anna

Editor

Sumber hhhhh


KOMPAS.com -
Sebagian dari diri mereka telah lenyap oleh kanker. Meski demikian, mereka menolak dikasihani, apalagi diberi perlakuan berbeda. Seni teater dan tari menjadi pembuktian bahwa mereka bisa senormal orang biasa, bahkan bisa lebih bersinar.

”Hah! Hah! Hah!” Rusyda Marini (43) menarik napas panjang, lalu menyuarakan ”hah” dengan lantang. Ia melakukan hal itu beberapa kali, tetapi Laksmi Notokusumo, sang pelatih, belum puas.

”Hah-nya belum A. Masih ada yang di mulut, jadi setengah O itu,” ucap Laksmi yang biasa dipanggil Mimi, sambil memegangi perut Rusyda. Sabtu (22/11) siang itu, Rusyda berlatih pernapasan perut sebagai bagian dari latihan teater, di rumah Mimi, yang terletak di Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Seusai digenjot pernapasan perut, Rusyda menerima naskah berjudul Nearly Death Experience. Untuk latihan hari itu, ia diminta Mimi menghafal naskah, disertai ekspresi wajah. Jika bisa, ditambah dengan gerak.

Anggota staf tata usaha sebuah sekolah menengah kejuruan swasta itu memainkan mimik menyesuaikan kata-kata yang ia baca. Sambil membaca naskah, ia kadang membuka lebar mulutnya dan ada kalanya memonyongkan bibir. Matanya melotot dan di waktu lain malah menyipit.

Bagi Rusyda, bermain teater tergolong aktivitas baru. Ia bergabung dalam latihan yang diadakan Mimi mulai tahun 2012. Meski baru dua tahun berlatih, ia sudah terlibat dalam sejumlah pementasan teater. Pentas pertamanya adalah Dramakala Fest di The London School of Public Relations, Jakarta, Februari 2013, dengan naskah ”Luh Galuh”. Selanjutnya, ia memainkan ”Nearly Death Experience” pada Juni 2013 di Gedung Kesenian Miss Cicih.

”Olah gerak dan berekspresi membuat saya makin percaya diri. Sebelum operasi, saya sering salah tingkah kalau dilihat orang,” kata Rusyda. Operasi yang dimaksud adalah pengangkatan payudara kirinya pada 2009 silam akibat kanker.

Ia tak sendiri. Hari itu, ada pula pemain teater lain, Taoria (42), yang kebagian naskah monolog Siapa Dia?. Sementara Shinta Murnisari (47) dan Martini Lim (50) dilatih menari. Ketiganya juga pernah menjalani operasi payudara.

Hal serupa juga dialami Taoria. Seperti Rusyda, ia belum pernah mencicipi dunia teater sebelum berlatih bersama Mimi. Ternyata ia memiliki bakat terpendam. Dalam Dramakala Fest 2012, Taoria masuk lima besar dengan membawakan ”Siapa Dia”. ”Oh, ternyata saya bisa, ya,” ujar pengacara bidang perdata itu mengungkapkan perasaannya saat itu.

Ia juga termasuk kerap pentas dan sudah memainkan sekitar delapan naskah. Dengan berbagai gerakan teater yang membutuhkan kelenturan tubuh, Taoria bisa merasa rileks dan nyaman. ”Saya merasa bebas dan itu meningkatkan kepercayaan diri saya,” katanya.

Kepercayaan diri juga meningkat pada Shinta, yang bergabung sejak tahun 2012. Hal itu terutama didapatkan dari pengalaman merasakan suasana panggung dan ditonton orang.

Shinta mengatakan, ia hanya menjalani operasi kecil pada payudara kirinya tahun 2010. Dalam lima tahun atau dijadwalkan tahun depan, ia harus memeriksakan diri lagi ke dokter. Hal itu untuk mengecek apakah kanker kembali tumbuh.

Kepercayaan diri terbangun lewat berkesenian sehingga Shinta mengaku siap menghadapi berbagai kemungkinan. ”Dengan ikut kegiatan seni ini, mata saya terbuka. Saya bukan orang paling menderita di dunia,” ucapnya.

Lebih percaya diri

Mimi mengaku membentuk komunitas teater dan tari bagi orang-orang yang selamat atau bertahan hidup setelah dinyatakan bersih dari kanker. Sebab, ia percaya, seni bisa menyembuhkan fisik dan psikis.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com