Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/12/2014, 08:17 WIB


KOMPAS.com
- Beberapa tahun lalu, Dina Nugraheni (30) pernah merasakan kesedihan sebagai ibu yang kehilangan putranya. Anak dalam kandungannya yang berusia lima bulan diketahui meninggal dunia.

Perempuan yang berprofesi sebagai dokter umum di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ungaran itu pun lebih protektif pada dua buah hatinya yang saat ini berusia 1,5 tahun dan dua bulan.

Saat hamil anak kedua, ia dan suaminya langsung memberi proteksi lebih. Meski masih dalam kandungan, si calon jabang bayi sudah diikutkan asuransi kesehatan. Kemudian, saat hamil tujuh bulan, Dina terpikir untuk menyimpan sel punca anaknya.

"Saya sendiri sudah tahu manfaat sel punca sejak pendidikan (kedokteran di Universitas Diponegoro). Selain itu ada keluarga yang pernah pakai (terapi sel punca)," jelasnya.

Ia bercerita, salah satu tantenya pernah mengalami masalah pengapuran di lutut kakinya. Lalu, tantenya menjalani pengobatan dengan sel punca yang diekstrasi dari darah tepi di tubuh tantenya. Kemudian disuntikkan sehingga lutut tantenya itu membaik.

Melihat hal itu, perempuan kelahiran 3 April 1984 itu berpikir untuk menabung sel punca anaknya. Apalagi ia tahu, stem cell anaknya kemungkinan bisa jadi obat untuk keluarganya yang lain, mulai dari nenek hingga saudaranya kelak.

Keputusannya itu tidak diambil dengan mudah, sebab suaminya adalah seorang dokter spesialis bedah onkologi yang juga menggeluti dunia biomolekuler. Dunia yang juga membahas sel punca untuk pengobatan.

"Ia (suami) bilang ada teknologi sekarang bisa ambil sel punca dari orang dewasa, dan masih dikembangkan," katanya.

Setelah sempat ragu dan berdebat cukup panjang, akhirnya pasangan itu sepakat menggunakan jasa perusahaan bank darah tali pusat, Cordlife, untuk menyimpan darah tali pusat anak keduanya.

Ia berkeyakinan, sel punca yang sejak kelahiran lebih murni, karena sebagai embrio pembentuk tubuh saat berkembang, daripada sel punca dari orang dewasa.

Selain itu, sepengetahuannya teknologi sel punca saat ini belum bisa mengatasi penyakit kronis. "Mungkin saat ini fungsi sel punca yang sudah diketahui baru 20 persen, penelitiannya masih terus berlangsung juga," katanya.

Untuk menyimpan sel punca anaknya, Dina dan suami merogoh kocek sekitar Rp 16 juta. Ia meneken kontrak dengan Cordlife Jakarta. Sebenarnya, ia ingin menyimpan di Singapura, tapi pertimbangan teknologi jadi yang utama.

Dina memperkirakan teknologi yang digunakan akan sama meski standar pelayanan tiap negara berbeda. Hal yang sama juga dilakukannya untuk anak ketiganya. Ia dan suami sebenarnya sempat bimbang saat akan menyimpan sel punca anak ketiga.

"Mubazir enggak ya? Kan genetiknya sama kayak kakaknya. Tapi kami mikir sel punca kan cocok-cocokkan, jadi sekalian saja ," ucapnya.

Bagi Dina, menabung sel punca adalah investasi kesehatan. Apalagi, jika saudaranya membutuhkan bisa diambil dari sel punca anaknya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com