Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Turun Berat Badan dengan Muaythai Tanpa Diet Ketat

Kompas.com - 24/01/2015, 11:00 WIB
dr Andri, SpKJ, FAPM

Penulis


Saya saat ini berusia 36 tahun. Pekerjaan saya sebagai dokter jiwa alias psikiater mengharuskan saya lebih banyak duduk dibandingkan bergerak aktif ke sana ke mari. Seperti banyak “kaum sedentari” lainnya, kehidupan saya juga tidak banyak diisi oleh gerak. Ke mana-mana kalau bisa naik mobil, naik tangga enggan dan lebih sering menggunakan lift atau elevator saja.

Kehidupan makin enak karena ditambah dengan seringnya mengadakan pertemuan di coffee shop atau restoran bersama rekan-rekan atau kolega. Kehidupan seperti ini berlangsung hampir sejak saya lulus sebagai dokter jiwa 6 tahun lalu.

Hasilnya saya bertambah berat badannya dari waktu ke waktu tanpa saya sadari. Dari 60 kilogram saat masih kuliah dulu sampai akhirnya mencapai 74.5 kilogram di pertengahan Juni 2014. Saya sebenarnya selama ini menerapkan pola makan nasi putih yang lebih sedikit daripada kebanyakan orang laki-laki seumur saya. Setiap makan, nasi putih yang saya konsumsi paling banyak 7 suapan saja. Tapi pola makan seperti ini akhirnya tidak membawa hasil. Berat badan bertahan walaupun lebih sering agak cenderung naik dari bulan ke bulan.

Keputusan menurunkan berat badan ke berat badan ideal datang ketika merasakan kondisi tubuh tidak fit sepulang dari pelatihan di Paris akhir Februari 2014. Sepulang dari Paris saya mengalami infeksi saluran nafas atas yang lama sembuhnya. Antibiotik dan anti radang diberikan dalam jumlah dan waktu lebih panjang dari biasanya.

Ketika sembuh pun kondisi fisik sepertinya tidak terlalu baik. Bila saya tidak sempat tidur siang maka sore ketika praktek bisa merasakan rasa kantuk yang luar biasa. Badan lemas seperti selalu kurang tidur. Lama-lama tidur pun menjadi kurang lelap.

Saya memang pernah berolahraga rutin lari tapi karena kebosanan akhirnya saya berhenti sendiri. Saat itu lari pun tidak banyak membuat perubahan dalam berat badan saya, jadi menjalaninya hanya sebulan saja akhirnya saya putuskan untuk berhenti. Sejak kejadian kurangnya vitalitas tubuh ini akhirnya saya berusaha kembali mencari olahraga apa yang kira-kira cocok buat saya dan mampu menurunkan berat badan sekaligus. Saat putaran Piala Dunia 2014 berlangsung, keputusan untuk mencoba olahraga Muaythai dibuat.

Mengapa Muaythai?

Saya memutuskan mengikuti Muaythai karena tertarik suatu bahasan di sebuah surat kabar tentang pemain sepak bola Belanda yang mengalami kemunduran fisik dan akhirnya pulih kembali dengan latihan Muaythai. Saya pikir membandingkan usianya yang sudah masuk 30-an, mungkin saya pikir olahraga ini cocok juga dengan saya. Padahal sebelumnya saya tidak terlalu suka dengan olahraga tinju. Tapi karena niatan ingin lebih fit dan sehat, maka saya mencoba menjalaninya. O,iya sebelumnya saya juga mencari literatur tentang apakah boleh olahraga ini dilakukan di usia 35-an ke atas. Hasilnya banyak juga yang memulai di usia 40-an.

Saya kemudian mendatangi sebuah camp Muaythai di sekitar Alam Sutera, Serpong tempat rumah sakit saya berada. Vida Muaythai nama camp ini sepertinya pas dengan apa yang saya cari. Lokasi dekat tempat kerja dan jadwal latihan di sore hari pukul 15.00 sebelum waktu praktek sore saya pukul 17.00 adalah kecocokan kedua. Hanya membutuhkan waktu 7 menit berkendara dari camp ke rumah sakit saya bekerja, sangat efisien waktu.

Hari pertama latihan pun tiba, hasilnya apa? Saya sampai keliyengan dan sempat minta istirahat beberapa lama karena pusing sehabis melakukan skipping 10 menit. Untungnya para pelatih di Vida Muaythai memang sudah biasa menghadapi “newbie” seperti saya ini. Semangat yang diberikan juga sangat berarti. Saya jadi tidak terlalu merasa kurang percaya diri di awal latihan dan tidak sempat terpikir bahwa olahraga ini tidak cocok untuk saya.

Latihan selanjutnya sudah mulai terbiasa dan akhirnya pada latihan ketiga saya sengaja membeli gloves alias sarung tinju sendiri. Harganya relatif mahal, yaitu sekitar 800 ribu rupiah. Tapi saya pikir untuk menambah semangat supaya tetap mau latihan saya harus membuat saya malas berhenti olahraga ini, salah satunya rasa sayang gloves tidak terpakai jadi alasan saat itu.

Lama-kelamaan saya menemukan keasyikan sendiri belajar muaythai ini. Lingkungan camp Vida Muaythai yang kondusif, saling dukung dan pelatih yang profesional membuat latihan menjadi lebih baik. Tetapi mengapa di bulan pertama latihan seminggu dua kali berat badan saya tidak berkurang banyak? Berat badan awal saat masuk camp adalah 74.5 kilogram dengan lingkar perut 91 cm, setelah latihan sebulan hanya 74 kg saja dan lingkar perut tidak berubah.

Pelatih saya saat itu menyatakan hal tersebut biasa. Pola hidup yang masih kadang belum teratur, makan malam di atas pukul 9 malam dan banyak makan gula saya pikir juga menjadi penyebabnya. Saya memang sulit untuk tidak makan di atas pukul 9 malam karena selesai praktek saja paling cepat pukul 8 malam. Gula pasir saya konsumsi ketika minum kopi dan saat itu saya minum kopi dua kali sehari.

Pelatih saya saat itu Yunian Arega bilang, “Tidak apa Pak, makan saja seperti biasa, nanti berat badannya turun kalau tubuhnya sudah biasa!” Saya jujur masih bingung dan sedikit kecewa karena saya pikir Muaythai akan membentuk berat badan ideal secepat-cepatnya. Bayangkan latihan kardio yang berat tetapi hasilnya nihil, siapa yang mau?

Saya pikir-pikir lagi apa yang dikatakan oleh pelatih saya ini dan saya melihat kebenaran di sana. Tubuh memang harus membiasakan diri dengan perilaku baru sebelum tubuh itu akhirnya terbiasa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com