Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/01/2015, 14:08 WIB
Dian Maharani,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com
– Tidak percaya diri, malu, takut dijauhi, hingga memandang rendah diri sendiri sering dirasakan para penderita kusta. Mereka enggan ke luar rumah untuk berobat karena malu bercak putih maupun kemerahan pada kulit dilihat oleh orang lain atau takut menularkan kusta kepada orang lain. Akhirnya, penderita kusta lebih banyak yang menyembunyikan diri di dalam rumah.

Keluarga dan lingkungan sekitar juga menjadi faktor munculnya rasa tidak percaya diri seorang penderita kusta. Sejumlah penderita kusta kerap dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat. Diskriminasi sosial juga sering dialami, baik oleh penderita kusta maupun orang yang pernah mengalami kusta.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2007-2008, diskriminasi terhadap orang yang mengalami kusta di antaranya, tidak diterima sebagai pegawai, dikeluarkan dari pekerjaan, tidak boleh sekolah, diejek atau diolok-olok, bahkan ada yang ditolak naik kendaraan umum, ke tempat ibadah, restoran, hingga ikut pemilu.

“Stigma ini menjadi hambatan untuk mencari penderita kusta dan memberikan memberian mereka pengobatan,” ujar Direktur Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes, HM Subuh di Gedung Kemenkes, Jakarta, Senin (27/1/2015).

Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan mencatat adanya 16.825 kasus kusta baru. Angka ini menempatkan Indonesia berada di posisi ketiga duna dengan kasus kusta terbanyak setelah India (134.752 kasus) dan Brasil (33.303 kasus).

Kusta tidak mudah menular dan bisa sembuh tuntas

Penderita kusta dan juga masyarakat harus tahu jika penyakit kusta penularannya tidak mudah. Penyakit kusta juga bisa sembuh tuntas dan tidak akan mengalami kecacatan jika diobati sejak dini.

Ketua Komite Ahli Eliminasi Kusta dan Eradikasi Frambusia, Hariadi Wibisono beberapa waktu lalu mengungkapkan, penularan kuman kusta bisa terjadi jika kontak langsung dalam waktu yang cukup lama. Misalnya, terjadi pada satu keluarga dalam satu rumah. Penularan biasanya melalui pernapasan, bukan karena bersentuhan langsung dengan penderita kusta.

“Tidak perlu khawatir merangkul, bersalaman dengan orang yang sakit kusta. Tidak akan mudah menular begitu saja,” tegas Hariadi.

Menurut Hariadi, bersalaman dan memeluk penderita kusta dapat menghilangkan stigma. Hal ini bisa meningkatkan kepercayaan diri penderita kusta dan kemauan untuk berobat.

Hariadi mengatakan, kusta juga bukan penyakit keturunan, apalagi karena guna-guna. Penularan kusta sangat bisa dicegah jika penderitanya minum obat yang rutin dan teratur. Untuk kusta kering, harus minum obat selama 6-9 bulan dan kusta basah selama 12 bulan untuk penderita kusta basah. Obat ini pun telah disediakan oleh pemerintah secara gratis.

Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pun berharap stigma terhadap penderita kusta dapat dihilangkan.  Dengan demikian, orang yang mengalami kusta bisa menjalani pengobatan dengan nyaman.

“Kalau sudah terdiagnosis kusta, mereka tidak boleh takut. Mereka harus menyadari bahwa penyakit ini bisa tidak menularkan ke orang lain dengan patuh minum obat,” kata Nila.

Memperingati Hari Kusta Sedunia yang jatuh pada akhir Januari, Kementerian Kesehatan mengusung tema “Hapus stigma! Kusta sapat disembuhkan dengan tuntas”.

Hingga saat ini, kasus kusta masih tinggi di 14 provinsi yang ada di Indonesia, yaitu Banten, Sulawesi Tengah, Aceh, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Kalimantan Utara. Kementerian Kesehatan pun menargetkan eliminasi kasus kusta di 14 provinsi tersebut pada tahun 2019.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com