Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 21/04/2015, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sejumlah dokter yang mempersoalkan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. Alasannya, ketentuan pelaporan pidana atau gugatan perdata yang bisa dilayangkan pasien bertujuan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan umumnya.

Demikian putusan Mahkamah Konstitusi pada pengujian konstitusionalitas Pasal 66 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Uji materi diajukan sejumlah dokter muda yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu antara lain Agung Sapta Hadi, Yadi Permana, dan Irwan Khresnamurti.

Pasal 66 Ayat (3) UU No 29/2004 berbunyi "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan (2) tak menghilangkan hak tiap orang melaporkan dugaan tindak pidana pada pihak berwenang".

Menurut pemohon, pasal itu membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran dan dengan penafsiran luas membuat pelanggaran kedisiplinan seorang dokter jadi kasus pidana. Itu menimbulkan ketakutan kalangan dokter untuk mengambil tindakan kepada pasien yang berisiko tinggi ataupun dalam kondisi darurat karena bisa dipersalahkan akibat kelalaian yang menyebabkan pasien meninggal.

Melindungi hak pasien

Namun, MK tak sependapat dengan hal tersebut. Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan MK, Senin (20/4), di Jakarta, menyatakan, pelaporan secara pidana dan/atau gugatan perdata tetap perlu untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan. Itu juga untuk melindungi hak pasien jika tindakan dokter atau dokter gigi dinyatakan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) melanggar disiplin profesi kedokteran dan merugikan pasien.

Proses pidana atau gugatan perdata pada perkara kedokteran, lanjut Alim, menurut Pasal 66 Ayat (3) UU Praktik Kedokteran, harus dimaknai dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai rujukan penanganan. Oleh karena itu, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang harus mendengarkan pendapat dari pihak kompeten di bidang tersebut.

Alim menambahkan, hal serupa harus dilakukan ketika aparat hukum menafsirkan peraturan terkait dengan tindakan dokter atau dokter gigi. Hal tersebut juga mesti diterapkan dalam penilaian terhadap tindakan yang dilakukan.

Pelaksanaan peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malapraktik dinilai telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter ataupun dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata.

"Artinya, dalam proses pengadilan, akan tertutup kemungkinan dijatuhkan sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter ataupun dokter gigi yang tindakan medisnya dinyatakan MKDKI telah sesuai atau tak melanggar disiplin profesi kedokteran," kata Alim.

Menanggapi putusan tersebut, Agung Sapta Hadi mengungkapkan kekecewaannya. Putusan MK itu tetap membuat dokter ketakutan mengambil tindakan medis karena bisa dibawa ke ranah pidana. Padahal, belum tentu kesalahan tersebut merupakan bentuk kesengajaan dan di luar disiplin profesi kedokteran.

Jika dokter dinyatakan tak bersalah melanggar etik profesi oleh MKDKI, lanjut Agung, semestinya juga dimaknai tak ada pelanggaran hukum. "Dengan putusan ini, MKDKI seakan tak berguna ketika dinyatakan tidak ada pelanggaran profesi, tetapi secara hukum tetap dikenai pasal KUHP," ujarnya. (ANA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com