Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Peraturan Makanan Berbahaya, Pengawasan Masih Minim

Kompas.com - 25/04/2015, 15:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Sistem pengawasan terhadap peredaran dan perdagangan belum dapat memberi perlindungan kepada konsumen meski sudah banyak peraturan terkait yang dibuat. Karena itu, seharusnya ada sistem pengawasan lanjutan guna mencegah produsen atau pelaku usaha menjual makanan dan minuman yang mengandung formalin dan bahan berbahaya lain.

Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, maraknya makanan yang mengandung bahan berbahaya disebabkan terlalu longgarnya jual beli bahan berbahaya.

Penjualan formalin, kata dia, seharusnya tidak dapat dilakukan secara bebas. "Pemerintah seharusnya punya data penjual mana saja yang bisa memperjualbelikan formalin. Penjual formalin seharusnya juga memiliki data siapa saja pembeli dan akan digunakan untuk apa. Dengan demikian, peredaran formalin dapat terpantau," kata Sudaryatmo, Jumat (24/4), di Jakarta.

Menurut ahli kimia pangan dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Nuri Andarwulan, formalin berupa larutan formaldehida dengan konsentrasi 37 persen merupakan bahan penting dalam industri. Senyawa aktif yang biasa digunakan sebagai perekat kayu lapis, pengawet kayu, pembunuh kuman, bahan baku plastik, bahan cat, bahan bangunan, dan bahan komponen mobil tersebut kerap disalahgunakan sebagai bahan pengawet makanan (Kompas, 24/4).

Bahan makanan yang kerap ditemukan mengandung formalin ialah mi basah, tahu, bakso, ikan, dan roti. Meski demikian, kata Nuri, formaldehida banyak ditemukan di alam. Formaldehida dihasilkan dari proses metabolisme semua makhluk hidup. Oleh karena itu, kandungan formaldehida banyak ditemui pada beragam jenis sayur, buah, daging, produk susu, dan ikan laut.

Keamanan pangan

"Indonesia sudah memiliki Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Pangan, dan sejumlah peraturan lain. Namun, itu saja tidak cukup. Pemerintah harus menjamin semua produk yang beredar di pasar dapat dikonsumsi masyarakat dengan aman dan bebas dari bahan berbahaya," kata Sudaryatmo.

Sebagai contoh, kasus keracunan massal 34 kepala desa di Malang, Jawa Timur, menjadi bukti lemahnya pemerintah menjaga peredaran makanan berbahaya. Selain itu, tim gabungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Badan Reserse Kriminal Polri yang menginspeksi pabrik tahu berskala besar di Desa Ragajaya, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu lalu, meyakini, tahu buatan pabrik itu mengandung formalin.

Pangan, ujar Sudaryatmo, dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pangan segar, pangan dalam kemasan, dan pangan siap saji. Kelompok pangan segar ialah hewan, tumbuhan, dan perikanan. Pangan dalam kemasan adalah hasil produksi industri-industri besar yang dijajakan dalam kemasan. Sementara itu, makanan siap saji adalah pangan yang disajikan di restoran, warung, atau katering.

"Pengawasan makanan segar menjadi tanggung jawab dinas pertanian atau peternakan setempat. Pengawasan makanan dalam kemasan menjadi tanggung jawab BPOM, sedangkan pengawasan makanan siap saji menjadi tanggung jawab pemerintah kota/kabupaten," ujar Sudaryatmo.

Berdasarkan data YLKI, kasus makanan berbahaya banyak ditemukan dalam makanan siap saji, misalnya makanan dari katering dan jajanan sekolah.

"Pemerintah daerah seharusnya melakukan pengawasan secara reguler minimal tiga bulan sekali untuk uji sampel dan mendeteksi maraknya penggunaan bahan berbahaya dalam makanan," katanya.

Pengawasan itu, menurut dia, hendaknya dilakukan secara lintas wilayah administrasi. (KOMPAS/Angger Putranto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com