Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/05/2015, 15:00 WIB

Oleh: M Zaid Wahyudi

JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat yang menua dan meningkatnya tekanan hidup dipastikan meningkatkan stres, rasa cemas, dan depresi di masyarakat. Jika tidak dikendalikan, fenomena global ini akan membebani masyarakat dan ekonomi bangsa. Karena itu, pembangunan perlu mengedepankan kesejahteraan jiwa, tidak mengejar keberhasilan fisik dan material semata.

"Pada tahun 2020, depresi akan menjadi beban penyakit terbesar kedua di dunia setelah jantung koroner di negara-negara maju atau setelah HIV-AIDS di negara berkembang," kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora dalam Seminar Media Peringatan Hari Lanjut Usia Nasional 2015 di Jakarta, Kamis (21/5).

Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 25 juta lansia, ketiga terbanyak di dunia, setelah Tiongkok sebanyak 200 juta orang dan India sebesar 100 juta orang. Adapun kelompok produktif yang menjadi tulang punggung pembangunan bangsa mencapai lebih dari 160 juta orang. Mereka semua rentan mengalami depresi akibat beban kerja, kondisi ekonomi, hingga persoalan keluarga.

Meski tekanan hidup sudah begitu besar, menurut peneliti Pusat Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Rahmat Hidayat, pola pembangunan di Indonesia cenderung mengabaikan kesejahteraan jiwa. Akibatnya, stres yang dialami masyarakat sulit dilepaskan setiap hari hingga menumpuk dan menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan kejiwaan.

Pembangunan yang cenderung mengabaikan kesehatan jiwa terlihat dari terbatasnya ruang-ruang publik yang bisa diakses masyarakat secara gratis. Kemacetan di jalan yang makin parah, lalu lintas tidak tertib, serta spanduk dan baliho raksasa yang bertebaran di sepanjang jalan membuat pikiran masyarakat tidak tenang meski tidak sedang menghadapi pekerjaan. Saat tiba di rumah, perumahan kecil yang berdesakan dan berbagai persoalan keluarga semakin menekan warga.

Meski ruang publik penting, sangat jarang kota yang memiliki ruang publik, khususnya ruang terbuka hijau dalam kondisi baik. Jika tidak beralih fungsi, taman-taman kota banyak yang tidak terawat. Justru mal-mal dan supermarket yang dianggap sebagai simbol modernisasi makin merasuk hingga ke kota-kota kecil.

James Siahaan dalam Ruang Publik: Antara Harapan dan Kenyataan, 2010, menyebut, terjadinya penurunan kuantitas ruang publik, khususnya ruang terbuka hijau, secara signifikan selama 30 tahun terakhir.

Di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung, luas ruang terbuka hijau telah berkurang dari 35 persen pada awal tahun 1970-an menjadi sekitar 10 persen pada 2010. Sebagian besar ruang terbuka hijau beralih fungsi menjadi infrastruktur perkotaan dan kawasan permukiman baru.

Shutterstock Ilustrasi

Penelitian Mathew White dari Pusat Kajian Eropa untuk Studi Lingkungan dan Kesehatan Manusia di Universitas Exeter, Inggris, dan rekan yang dipublikasikan dalam jurnal Environmental Science and Technology 2014 menyebut keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan berdampak positif dan berkelanjutan terhadap kualitas kehidupan masyarakat.

Dari analisis data Panel Survei Rumah Tangga Inggris sejak 1991 yang dikompilasi Universitas Essex, disimpulkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah dengan ruang terbuka hijau memadai memiliki tingkat stres rendah. Hal itu memberikan manfaat berkelanjutan dalam kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

"Masyarakat di kota besar stres karena menghadapi beban dan tuntutan kerja, sedangkan di kota kecil karena persoalan ekonomi, seperti kemiskinan atau sulitnya mencari kerja," kata Direktur Bina Upaya Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora di Jakarta, Rabu (20/5).

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, 6 persen masyarakat Indonesia yang berumur lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Prevalensi tertinggi penderita gangguan di Sulawesi Tengah sebesar 11,6 persen.

Namun, penderita gangguan mental emosional justru banyak terdapat di kota kecil dan daerah terluar, seperti Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, sebesar 37,1 persen dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, sebesar 22,3 persen. Warga kota dengan prevalensi cukup tinggi ada di Kota Bogor, Jawa Barat, sebesar 28,1 persen.

Mereka yang rentan mengalami gangguan mental emosional adalah orangtua, perempuan, berpendidikan dan berpenghasilan rendah, serta tinggal di kota.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com