Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/06/2015, 15:10 WIB

Militer Amerika Serikat baru-baru ini mengumumkan tak sengaja mengirimkan spora antraks aktif ke sejumlah laboratorium. Meski tak sampai ke Indonesia, masyarakat tetap perlu waspada tiap waktu. Sebab, bakteri penyebab antraks tangguh, ada di mana-mana di Indonesia, dan bertahan bertahun-tahun.

Spora antraks berbahaya itu terkirim ke 18 laboratorium di sembilan negara bagian di AS dan 1 pangkalan udara AS di Korea Selatan menerima sampel aktif. Bahkan, The Sydney Morning Herald (Sabtu, 30/5) melaporkan, ada gelombang pengiriman lain pada 2008 dengan sampel belum lumpuh. Salah satu penerimanya ialah Australia.

Di Indonesia, publik tak perlu menunggu hingga ada kasus salah kirim dari laboratorium guna mewaspadai ancaman antraks. Masyarakat hidup berdampingan dengan bakteri penyebab antraks. "Bakteri itu bisa hidup bertahun-tahun, 50 tahun, 80 tahun, tergantung kondisi lingkungan bagi bakteri," ujar Ketua Panel Ahli Komisi Nasional Pengendalian Zoonosis Nyoman Kandun, kemarin.

Bakteri penyebab antraks bernama Bacillus anthracis, dengan ciri-ciri memiliki gram positif, berkapsul, berbentuk batang, serta biasanya ditemukan di tanah. Bakteri itu bisa berbentuk vegetatif dan spora.

Bakteri spora amat tahan pada kondisi lingkungan yang tak menguntungkan, termasuk terhadap disinfektan. Bentuk spora itu yang amat berbahaya.

Antraks ialah penyakit utama pada hewan-hewan herbivora, termasuk sapi, kambing, babi, dan kuda. Manusia bisa tertular setelah terpapar hewan dengan antraks, tetapi belum diketahui ada penularan antarmanusia. Menurut Manual Pemberantasan Penyakit Menular (2012), masa inkubasi bakteri antraks rata-rata 1 hari hingga 7 hari.

Tiga jalan

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Srihadi Agungpriyono mengatakan, tanda-tanda antraks pada hewan amat khas antara lain perdarahan pada lubang seperti hidung dan mulut. Tanda lain, hewan lesu dan pembengkakan limpa di kiri atas perut. Biasanya, dokter hewan akan membersihkan bekas ceceran darah dengan soda atau formalin.

Sementara antraks pada manusia menular lewat tiga jalan, yaitu terpapar pada kulit, terhirup, dan tertelan. Infeksi kulit melalui kontak dengan bagian tubuh hewan mati karena sakit, kontak dengan produk bulu (wol) dan kulit dari hewan yang terkontaminasi, serta kontak dengan tanah yang terkontaminasi hewan, misalnya setelah darah tumpah dari hewan yang disembelih. Tanah juga bisa tercemar antraks karena dipupuk dengan kotoran ternak yang tertular.

Antraks pada kulit menimbulkan gatal, diikuti lesi yang berubah jadi papulair kemudian vesikulair, selama 2-6 hari berubah jadi jaringan parut hitam (koreng). Infeksi muncul di kepala, dahi, dan tangan. Jika tak segera diobati, infeksi menyebar ke kelenjar limfa, peredaran darah, bahkan selaput otak. Tingkat kematian 5-20 persen dari kasus antraks pada kulit.

Pada penularan karena terhirup, gejala awal amat ringan dan tak spesifik, termasuk demam, batuk ringan, dan sakit dada. Lalu, muncul gejala akut berupa gangguan pernapasan, demam dan shock 3-5 hari, bahkan penderita bisa meninggal.

Adapun antraks yang menyerang saluran pencernaan amat jarang terjadi, kecuali akibat keracunan makanan, dengan gejala berupa gangguan organ perut atau abdominal, diikuti demam, dan tanda-tanda pelipatgandaan bakteri dalam darah.

Risiko penularan antraks pada manusia tak terlalu terkait dengan kondisi tubuh prima atau tidak, tetapi lebih terkait aktivitas. Karena itu, orang berisiko tinggi tertular antara lain yang bekerja di peternakan, pemotongan hewan, industri bulu domba, dan para dokter hewan.

Pencegahan

Biasanya, hewan ternak di daerah endemis antraks diberi vaksin secara selektif, sedangkan vaksin bagi manusia belum ada. Pencegahan terbaik ialah menghindari aktivitas yang memperbesar risiko terpapar hewan.

Selain itu, masyarakat sebaiknya tak membeli hewan hidup, tetapi pilih daging potong, untuk memperkecil peluang tertular lewat cipratan darah. Jika terinfeksi, pasien harus segera diobati dengan antibiotik biasa. "Antraks mudah diobati, tetapi berakibat fatal jika terlambat ditangani," ujar Srihadi.

Arie Rukmantara, tenaga ahli komunikasi risiko Komnas Pengendalian Zoonosis, menambahkan, tantangan pengendalian antraks ialah mengawasi lalu lintas hewan ternak yang tak terdeteksi di sistem resmi. Selain itu, perlu sosialisasi ke peternak demi memastikan kesehatan ternak. (JOG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com