Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/08/2015, 21:07 WIB
Lily Turangan

Penulis


KOMPAS.com
 — Ada yang berkata, seks yang sehat adalah 2-4 kali seminggu. Ada juga yang bilang, satu kali seminggu juga tak mengapa, yang penting memuaskan. Mana yang benar? Berapa kali seminggukah frekuensi seks yang disebut sehat, dan berapa kali yang berlebihan?

Beda orang beda standar

Menurut Kinsey Institute, pasangan berusia 18-29 tahun rata-rata melakukan 112 kali hubungan seks dalam setahun. Pada usia 30-39 tahun, angka ini turun menjadi 69 kali dalam setahun. Sementara itu, pasangan pengantin baru atau pasangan muda yang baru mengenal seks biasanya melakukan hubungan intim setiap ada kesempatan.

Namun, jika frekuensi hubungan seks kurang atau lebih dari angka tersebut, hal itu tidak lantas berarti abnormal. Pasalnya, menurut terapis seks Dr Barry McCarthy, tidak ada patokan yang pasti yang dapat disebut sebagai frekuensi hubungan seks yang normal dan sehat.


"Hubungan seks disebut normal dan sehat jika kedua pihak sama-sama menikmati dan tidak menyebabkan gangguan fisik, mental, dan sosial, tidak peduli berapa kali pun Anda melakukannya," ujar Dr Barry.

Karena kekuatan fisik, kemauan, dan kondisi setiap pasangan berbeda-beda, maka frekuensi hubungan seks mereka juga berbeda satu sama lain.

Hiperseks

Jika ditempatkan dalam kerangka hubungan dengan pasangan, yang disebut hiperseks atau seks berlebih adalah ketika frekuensi hubungan intim yang dijalani tidak lagi memberikan kesenangan dan membuat sakit salah satu atau kedua belah pihak.

Hiperseks timbul, salah satunya, karena kecanduan seks. Ini tidak hanya diukur dari frekuensi hubungan dengan pasangan. Masturbasi dan perilaku porno, seperti hobi menonton film biru, juga dapat dijadikan tolok ukur.


Jika frekuensi masturbasi dan mengonsumsi pornografi sudah menyakiti diri sendiri, bahkan ada yang sampai mengalami disfungsi ereksi dan lecet pada vagina, juga sudah mengganggu aktivitas sehari-hari, maka itu sudah dapat dikategorikan sebagai hiperseks. Selain itu, perilaku hiperseksual juga dapat mengakibatkan gangguan emosional.

"Pencandu seks sama dengan pencandu alkohol. Mereka cenderung tidak peduli jika kebiasaannya merusak banyak hal. Mereka mencari dan terus mencari untuk memuaskan dirinya sendiri," kata Robert Weiss, terapis gangguan seksual dari Amerika Serikat.

Ada tiga ciri umum pencandu seks, yaitu hilang kontrol, terobsesi pada segala yang berbau seks, dan terus melakukan hal itu walau diri dan lingkungannya sudah dirugikan. Tak jarang, mereka "rela" terlibat dalam transaksi seks ilegal asalkan nafsunya terlampiaskan.

Pencandu seks sangat dianjurkan untuk meminta bantuan kepada psikiater, psikolog, atau terapis. Hal yang sama berlaku terhadap orang yang jarang melakukan seks karena ada masalah mental atau emosional di diri mereka. Ini perlu dilakukan agar perilaku seksualnya kembali sehat dan normal, baik untuk diri sendiri maupun pasangannya. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com