Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/09/2015, 18:19 WIB
KOMPAS.com - Nyeri merupakan keluhan tersering seseorang datang berobat ke dokter. Tapi, faktanya sulit menemukan terapi yang mumpuni untuk mengatasi nyeri. Tak heran jika banyak orang hanya mengandalkan obat antinyeri atau membiarkan keluhan nyerinya menjadi kronik.

Jenis gangguan nyeri yang sering diderita masyarakat antara lain nyeri punggung, nyeri lutut, nyeri sendi dan otot, nyeri kepala, cedera akibat olahraga atau trauma, hingga nyeri karena adanya kanker stadium lanjut.

"Untuk nyeri ringan memang bisa minum obat, tapi ada nyeri yang kompleks, misalnya kanker. Pada umumnya keluhan nyeri akibat kanker diatasi dengan pemberian morfin, tapi sampai batas tertentu pasien menjadi kebal. Rasa nyeri hebat yang dirasakan pasien bisa membuat mereka ingin bunuh diri," kata dr.Mahdian Nur Nasution, spesialis bedah saraf dari Klinik Nyeri & Tulang Belakang Jakarta, Jumat (11/9/15).

Tata laksana nyeri memang terdiri dari dua kategori, yakni farmakologi (obat-obatan) dan operasi. "Penggunaan obat-obatan antinyeri untuk nyeri kronik bisa mendatangkan efek samping, sementara untuk operasi tak semua pasien mau melakukannya," tutur Mahdian.

Ia menjelaskan, sejak beberapa tahun terakhir ini berkembang ilmu interventional pain management (IPM) yang mempelajari teknik-teknik intervensi dalam menangani nyeri subakut, kronik, persisten, dan nyeri yang sulit diatasi. Penggunaan teknik intervensi itu bisa dipakai secara independen atau pun dengan modalitas terapi lainnya.

"IPM bisa dilakukan oleh dokter spesialis anestesi, neurologi, bedah saraf, ortopedi, atau dokter rehabilitasi fisik dan medik, yang melakukan pelatihan bidang manajemen nyeri," kata dokter lulusan Universitas Indonesia ini.

Salah satu terapi intervensi yang sudah dipakai secara luas di banyak negara adalah radiofrekuensi ablasi. Menurut Mahdian, prinsip kerja terapi ini adalah mengalirkan aliran listrik yang diproduksi gelombang radio untuk memanaskan bagian saraf tertentu.

"Lapisan pembuluh sarafnya diblok agar tidak bisa lagi mengirimkan sinyal nyeri," katanya.

Jenis nyeri yang bisa diterapi dengan radiofrekuensi ablasi terutama adalah nyeri yang sudah bersifat kronik atau berlangsung lama.

Radiofrekuensi ablasi sendiri dinyatakan aman dan efektif untuk mengurangi nyeri pada bagian punggung, leher, nyeri akibat peradangan pada sendi (artritis), hingga nyeri pada pasien kanker stadium akhir.

"Rasa nyerinya bisa dihilangkan sampai dengan dua tahun. Kelebihan dari terapi ini bisa meningkatkan lingkup gerak tubuh dan meminimalkan penggunaan obat oral," ujarnya.

Biaya terapi ini memang masih relatif mahal. Di klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta yang berlokasi di kawasan Mampang Jakarta Selatan misalnya, terapi radiofrekuensi ablasi dikenai biaya antara 7-15 juta rupiah. "Biayanya tergantung pada titik nyeri dan penggunaan jarumnya. Yang mahal memang jarumnya karena khusus," ujarnya.

Sebelum melakukan terapi radiofrekuensi, pasien diharuskan melakukan pemeriksaan penunjang, seperti USG, rontgen, atau pun MRI untuk menyimpulkan sumber dan penyebab nyerinya. "Nanti keputusan ada di tangan pasien apakah akan melakukan terapi ini atau yang lain," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com