Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/09/2015, 11:25 WIB
Amar terbaring di atas lantai beralas kasur busa. Susah sekali membuatnya tersenyum. Hanya sesekali Margareta (36) berhasil membuat anak 16 tahun ini memperlihatkan giginya. Amar kehilangan senyum dan keceriaan ketika kaki kanannya diamputasi akibat kanker tulang. Ia juga kehilangan semangat untuk sekolah selain masih harus mondar-mandir untuk pengobatan lanjutan.

Margareta bersama Yeni Dewi Mulyaningsih (38) siang itu mengunjungi Amar dan ibunya, Leila Julaila (33), di tempat tinggal mereka yang sederhana di Rumah Susun Bekasi Timur. Margareta yang berpembawaan ceria sering kebagian peran sebagai pembawa acara dan pemandu permainan. Ia juga mencari bantuan, seperti perlengkapan mandi, boneka, atau diapers. Margareta sudah dua tahun bergabung dengan Komunitas Taufan yang digagas Yeni.

Selain merasa bahagia karena berbagi, Margareta rupanya menyimpan penyesalan karena tak bisa mendampingi saat-saat terakhir sahabatnya yang terkena kanker. ”Saya menyesal, seharusnya paling tidak saya bisa kasih dukungan moral,” kata Margareta yang juga penggagas gerakan Sedekah Care.

Yeni kehilangan anak keempatnya, Taufan, di usianya yang masih tujuh tahun akibat kanker darah. Ketika pertama kali mendengar diagnosis Taufan, hati Yeni hancur. Selama tiga bulan ia menarik diri dari sekitar. Bahkan, komunikasinya dengan suami memburuk.

”Kalau suami saya masuk kamar, saya keluar kamar. Kami kayak punya pikiran masing-masing. Sampai akhirnya ada tetangga mengingatkan agar menerima kenyataan dan mulai membawa Taufan berobat ke rumah sakit. Peran dukungan dari orang terdekat dan teman memang sangat besar,” kata Yeni.

Diakui Yeni, bantuan baik moral maupun finansial mengalir di saat-saat awal. Namun, seiring waktu, satu per satu menghilang karena kesibukan masing-masing. Padahal, pasien dan keluarganya masih butuh dukungan. ”Saya fokus mendampingi orangtua agar mereka kuat. Anak-anak biasanya percaya pada orangtua sehingga akan lebih mudah mendekati mereka lewat orangtua masing-masing,” kata Yeni.

Sebulan setelah anaknya tiada pada pertengahan tahun 2013, Yeni segera menyusut air matanya dan turun mengunjungi pasien dan orangtuanya, baik di rumah sakit maupun di tempat tinggal mereka. Selain pasien kanker, ia juga mengunjungi pasien jantung, hidrocefalus, HIV, jantung, dan penyakit lain yang butuh pengobatan panjang.

Yeni tidak hanya menghibur dan mengajak mengobrol, tetapi juga berupaya mencarikan kebutuhan mereka, seperti ongkos bolak-balik ke rumah sakit, rumah singgah, kursi roda, sampai ambulans gratis. Ia juga mendorong keluarga pasien lebih memperhatikan aspek kebersihan, gizi, dan obat-obatan yang dikonsumsi pasien.

”Saya juga mendorong mereka lebih terbuka terhadap sesama keluarga pasien sehingga bisa tukar pikiran dan tidak merasa sendirian. Intinya agar mereka tidak menyerah pada keadaan di tengah keterbatasan,” papar Yeni.

 Kegiatan Yeni diikuti oleh banyak relawan hingga akhirnya dibentuk Yayasan Komunitas Taufan. Sampai saat ini, ada puluhan relawan yang bergantian mengunjungi pasien dan keluarganya dengan ratusan pasien yang telah didampingi. Yeni sendiri rutin tiga kali seminggu berkunjung. Selain itu, nomor ponselnya terbuka 24 jam bagi keluarga pasien.

Leila merasa sangat terbantu oleh dukungan Yeni dan kawan-kawan. Selain mendapat dorongan semangat, ia juga dibantu biaya transportasi ke rumah sakit yang kebutuhannya tidak sedikit. ”Waktu anak saya masuk ruang intensif, saya tidak tahan. Nangis terus. Kemudian saya diingatkan, kalau saya nangis terus, gimana anak saya,” ungkap Leila.

Bicara positif

Di Yogyakarta, para relawan yang tergabung dalam Yayasan Family Supporting Group Tunas Bangsa secara rutin setiap minggu pagi menghibur para pasien kanker dan kelainan darah di Rumah Sakit Dr Sardjito. Kegiatan utamanya menghibur dan belajar, seperti bercerita, mewarnai, main musik, atau membuat kerajinan tangan.

Kegiatan yang dimulai tahun 2008 ini untuk mengusir rasa bosan anak karena harus menjalani pengobatan yang panjang. Tak jarang mereka hanya bisa berbaring dan meninggalkan bangku sekolah demi pengobatan. ”Target kami setidaknya membuat mereka tersenyum,” kata Kristi Hardjoseputro, koordinator relawan.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Verina Halim, mengungkapkan, ada korelasi antara kondisi mental seseorang dan kesehatan fisiknya. Kondisi psikis yang baik akan memperkuat ketahanan tubuh seseorang.

”Ketika kita menengok orang sakit, penting hanya untuk bicara yang positif saja. Banyak mengajak bercanda, mengingatkan pada hal yang baik-baik agar pasien juga berpikir positif dan merasa mendapat kekuatan,” kata Verina.

Dikatakannya, di luar negeri, aspek dukungan sosial ini sudah mendapat perhatian khusus dan masuk dalam sistem. Pekerja sosial, suster, dokter, paramedis, dan rohaniwan bekerja sama dalam satu tim untuk membantu pasien. Di Tanah Air, fungsi ini diambil oleh masyarakat yang memiliki empati dan inisiatif membantu para pasien dan keluarganya. (SRI REJEKI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com