Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/12/2015, 16:10 WIB
JAKARTA, KOMPAS — Dalam lima tahun terakhir, prevalensi kelompok lelaki suka seks dengan lelaki atau LSL yang terjangkit human immunodeficiency virus melonjak tiga kali lipat.

Tertutupnya kelompok itu akibat stigma dan diskriminasi membuat pengendalian HIV di kalangan LSL sulit dilakukan.

Ketertutupan kelompok LSL karena terbentur status sosial. "Rata-rata, kelompok LSL menikah atau punya istri," kata Gina Santi, Direktur Yayasan Hidup Positif, di Jakarta, Senin (30/11). Itu membuat risiko penularan HIV ke istrinya amat besar.

Lonjakan penyebaran HIV pada kelompok LSL terlihat dari hasil Survei Terpadu Perilaku dan Biologi (STPB) 2015 dibandingkan survei serupa tahun 2011. Prevalensi HIV pada kelompok LSL naik dari 8,5 persen menjadi 25,8 persen.

Peningkatan prevalensi HIV lain terjadi pada kelompok waria sekitar 3 persen dan pria risiko tinggi 0,17 persen. Adapun prevalensi HIV di kelompok wanita penjaja seks dan pengguna narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain (napza) suntik turun, sedangkan prevalensi pada warga binaan pemasyarakatan stabil.

Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Sigit Priohutomo mengatakan, ketertutupan LSL membuat upaya mendorong tes HIV di kelompok itu sulit dilakukan. Akibatnya, mereka menularkan HIV kepada pasangan lelaki dan kepada istri.

"Biasanya, seseorang yang positif mengidap HIV memiliki kesadaran tinggi untuk tak menularkan virusnya ke orang lain," katanya.

Samsuridjal Djauzi dari Klinik Kelompok Studi Khusus AIDS Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta mengingatkan, upaya mendorong kelompok LSL menjalani tes HIV harus disertai penyiapan dan pemahaman petugas kesehatan agar layanan bersahabat.

"Jangan sampai saat mereka melakukan tes HIV dan mengenalkan diri sebagai LSL, mereka merasa tak diterima, apalagi ditertawakan," ujarnya. Perbaikan mutu layanan tes HIV penting mengingat banyak orang sadar berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV, tetapi enggan ikut tes karena takut didiskriminasi.

Untuk menjangkau kelompok LSL dan waria, pemerintah perlu memberdayakan lembaga swadaya masyarakat atau pendamping yang aktif dan bisa menjangkau kelompok itu. Mereka biasanya berasal dari rekan sebaya yang sadar risiko penularan HIV.

Pendampingan itu tak hanya untuk mendorong mereka mau ikut tes HIV, tetapi juga mengorganisasikan distribusi obat antiretroviral (ARV).

"Penggunaan ARV terbukti membuat usia harapan hidup ODHA (orang dengan HIV-AIDS) hampir sama dengan usia orang tak terinfeksi," ucap Samsuridjal. (MZW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com