Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/12/2015, 20:07 WIB
Dian Maharani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak orang yang mengikuti terapi cuci otak atau brainwash yang diperkenalkan oleh dokter Spesialis Radiologi dari RSPAD Gatot Subroto, Terawan Agus Putranto. Padahal, terapi dengan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA) ini telah ditentang oleh sejumlah dokter ahli saraf.

Dokter Spesialis Saraf Fritz Sumantri Usman menjelaskan, DSA selama ini hanya digunakan untuk diagnosa kelainan pembuluh darah di otak, bukan untuk terapi, apalagi mencegah stroke. DSA pun tak bisa dilakukan kepada sembarangan orang. Harus ada indikasi medis terlebih dahulu sebelum dilakukan DSA.

"DSA bisa dilakukan apabila sudah terkena serangan stroke berulang. Atau serangan stroke dengan faktor risiko tertentu, seperti kencing manis, jantung, hipertensi, hingga stroke di usia muda," jelas Fritz di sela-sela seminar Neurointervensi di Jakarta, Kamis (17/12/2015).

Untuk apa dilakukan DSA? Tentunya hanya untuk mengetahui apakah ada kelainan pembuluh darah di otak. Ditegaskan Fritz, bukan untuk pengobatan stroke, misalnya menghilangkan sumbatan pembuluh darah di otak.

"DSA itu alat diagnosis gold standar untuk membidik kelainan pembuluh darah di otak," lanjut Fritz.

Sebelum DSA, biasanya telah dilakukan pengecekan dengan MRI atau CT Scan. DSA tidak bisa dilakukan kepada seseorang yang tidak sakit.

Para dokter saraf tidak menyarankan pasien mengikuti terapi cuci otak yang metode dasarnya menggunakan DSA tersebut untuk mencegah terkena stroke atau menyembuhkan.

Apalagi, terapi cuci otak yang dikenalkan Terawan sekitar 3 tahun lalu itu belum dibuktikan secara ilmiah. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (Perdosi) Hasan Machfoed mengatakan, tanpa penjelasan ilmiah dan uji klinik, modifikasi DSA untuk mengobati stroke tentu belum aman dilakukan pada manusia.

Ia khawatir, terapi cuci otak justru hanya akan menimbulkan komplikasi penyakit. Menurut Hasan, terapi cuci otak jelas telah menyalahi prosedur dan kode etik kedokteran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com